INTELLECTUAL CAPITAL: PERLAKUAN,
PENGUKURAN DAN PELAPORAN
(Tinjauan Teoritis)
Pendahuluan
Organisasi
apapun termasuk perusahaan pada saat ini agar dapat terus bertahan,
perusahaan-perusahaan mengubah strateginya dari bisnis yang didasarkan pada
tenaga kerja (labor-based business) menuju knowledge based business (bisnis
berdasarkan pengetahuan), dengan karakteristik utama ilmu pengetahuan.
Hal
tersebut dikarenakan seiring dengan perubahan ekonomi yang memiliki
karakteristik ekonomi yang berbasis ilmu pengetahuan dengan penerapan manajemen
pengetahuan (knowledge management) maka kemakmuran suatu perusahaan akan
bergantung pada suatu penciptaan transformasi dan kapitalisasi dari pengetahuan
itu sendiri.
Dalam sistem
manajemen yang berbasis pengetahuan ini, maka modal yang konvensional seperti
sumber daya alam, sumber daya keuangan dan aktiva fisik lainnya menjadi kurang
penting dibandingkan dengan modal yang berbasis pada pengetahuan dan teknologi.
Dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi maka akan dapat diperoleh
bagaimana cara menggunakan sumber daya lainnya secara efisien dan ekonomis,
yang nantinya akan memberikan keunggulan bersaing (Rupert 1998).
Pengertian
Intellectual Capital
1. Resource Based Theory
Sumber daya
dapat dianggap sebagai input yang memungkinkan perusahaan untuk
melakukan kegiatan mereka. Sumber daya dan kemampuan internal menentukan
pilihan-pilihan strategis yang dibuat oleh perusahaan saat berkompetisi dalam
lingkungan bisnis eksternal mereka. Kemampuan perusahaan juga memungkinkan
beberapa perusahaan untuk menambah nilai dalam customer value chain, mengembangkan
produk baru atau mengembangkan ke dalam pasar yang baru.
Resource
Based Theory (RBT) berfokus pada konsep atribut perusahaan yang difficult-to-imitate
sebagai sumber kinerja yang unggul dan keunggulan kompetitif (Barney, 1986;
Hamel dan Prahalad dalam Madhani, 2009).Menurut Conner dalam Madhani (2009),
variasi kinerja antara perusahaan tergantung pada kepemilikannya pada inputs
dan capabilities yang unik. Penrose (1959) dalam Astuti (2005) mengemukakan bahwa sumber daya perusahaan adalah
heterogen, tidak homogen, jasa produktif yang tersedia berasal dari sumber daya
perusahaan yang memberikan karakter unik bagi tiap-tiap perusahaan.
Menurut Belkaoui (2003); Hunter dan William (2003)
dalam Saleh et al., (2008), resources based theory merupakan sumber
daya perusahaan sebagai pengendali utama di balik kinerja dan daya saing
perusahaan. Berdasarkan RBT ini, sebuah organisasi dapat dinilai sebagai
kumpulan dari sumber daya fisik, sumber daya manusia, dan sumber daya
organisasi (Barney, 1991; Amit dan Shoemaker, 1993 dalam Madhani, 2009) Sumber
daya organisasi yang berharga, langka, imperfectly imitable dan imperfectly
substituable adalah sumber utama dari keunggulan kompetitif yang berkelanjutan
untuk kinerja unggul yang berkelanjutan. Sumber daya harus memenuhi kriteria
“VRIN” agar dapat memberikan keunggulan kompetitif dan kinerja yang
berkelanjutan (Madhani, 2009). Kriteria VRIN adalah sebagai berikut:
1. Valuable (V): Sumber daya akan menjadi berharga jikadapat
memberikan nilai strategis pada perusahaan. Sumber daya memberikan nilai jika
sumber daya tersebut membantu perusahaan dalam mengeksploitasi peluang pasar
atau membantu mengurangi ancaman (threats) pasar. Tidak ada keuntungan
memiliki sumber daya jika sumber daya tersebut tidak menambah atau menaikkan
nilai perusahaan.
2. Langka (R): Sumber
daya harus sulit ditemukan diantara para pesaing yang ada maupun pesaing
potensial. Oleh karena itu sumber daya harus langka atau unik agar memberikan
keunggulan kompetitif. Sumber daya yang dimiliki oleh beberapa perusahaan di
pasar tidak dapat memberikan keunggulan kompetitif, karena mereka tidak dapat
mendesain dan melaksanakan strategi bisnis yang unik dibandingkan dengan
kompetitor yang lain.
3. Imperfect Imitability (I):Imperfect Imitabilitydapat berarti tidak
dimungkinkannya untuk memperbanyak atau membuat imitasi sumber daya tersebut.
Hambatan-hambatannya dapat bermacam - macam, seperti : kesulitan mengakuisi
sumberdaya tersebut,hubungan ynag tidak jelas antara kemampuan dengan keunggulan
kompetitif, dan kompleksitas sumber dayanya.Sumber daya dapat menjadi sumber
keunggulan kompetitif yang berlanjut jika perusahaan-perusahaan yang tidak
memilki sumber saya ini tidak dapat memiliki sumber daya tersebut.
4. Non-Substitution(N):
Non-substitusi berarti bahwa sumber daya tidak dapat disubstitusikan oleh
sumber daya alternatif lainnya. Disini, para pesaing tidak dapat mencapai
kinerja yang sama dengan menggantikan sumber daya dengan sumber daya laternatif
lainnya.
RBT membantu perusahaan memahami mengapa kompetensi
dapat dianggap sebagai aset perusahaan yang paling penting dan, pada saat yang
bersamaan, untuk memahami bagaimana aset tersebut dapat digunakan untuk
meningkatkan kinerja bisnis perusahaan (Madhani, 2009).
Menurut RBV, sumber daya dapat secara umum
didefinisikan memasukkan aset, proses organisasi, atribut perusahaan,
informasi, atau pengetahuan yang dikendalikan oleh perusahaan yang dapat
digunakan menyusun dan menerapkan strategi mereka (Learned, Christensen,
Andrews, & Guth, 1969; Daft, 1983; Barney, 1991; Mata et al., 1995 dalam
Madhani, 2009).Beberapa peneliti telah
mengklasifikasikan sumber daya perusahaan sebagai sumber daya yang berwujud dan
tidak berwujud.Barney (1991) mengkategorikan tiga jenis sumberdaya:
1. Modal sumber daya fisik (teknologi, pabrik dan
peralatan),
2. Modal sumber daya manusia (pelatihan, pengalaman,
wawasan), dan
3. Modal sumber daya
organisasi (struktur formal).
Menurut resouce based theory, intellectual
capital memenuhi kriteria-kriteria sebagai sumber daya unik yang mampu
menciptakan keungguan kompetitif perusahaan sehingga dapat menciptakan value
bagi perusahaan. Dari penjelasan resource based theory diatas, intellectual
capital merupakan sumber daya yang dimiliki perusahaan, memberikan
keunggulan kompetitif bagi perusahaan dan digunakan untuk menyusun dan
menerapkan strategi perusahaan sehingga meningkatkan kinerja perusahaan menjadi
semakin baik.
2.
Definisi Intangible
Assets (Aset tidak Berwujud)
Smith (1994) dalam Choong (2008) mendefinisikan Intangible
Assets sebagai berikut
“Intangible
assets are all the elements of a business enterprise that exist in addition to
working capital and tangible assets. They are the elements, after working
capital and tangible assets, that make the business work and are often the
primary contributors to the earning power of the enterprise. Their existences
is dependent on the presence. or expectation, of earnings.”
Paragraph 08 PSAK 19 (revisi 2009) mendefinisikan aset tidak berwujud sebagai aktiva non-moneter yangdapat diidentifikasi dan
tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk
digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa, disewakan
kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan administratif. Definisi tersebut
mengadopsi pengertian dari IAS 38 tentang Intangible Assets yang relatif sama
dengan definisi yang diajukan dalam FRS 10 tentang goodwill and intangible
assets. IAS 38 maupun FRS 10, menyatakan bahwa aktiva tidak berwujud harus
dapat diidentifikasi, bukan aset keuangan (non-financial/non-monetary assets),
dan tidak memiliki substansi fisik.
3.
Definisi Intellectual
Capital
Ketertarikan akan IC bermula ketika
Tom Stewart, pada Juni 1991, menulis sebuah artikel (“Brain Power - How
Intellectual Capital Is Becoming America’s Most Valuable Asset”), yang
mengantar IC kepada agenda manajemen (Ulum, 2009). Stewart (1997)
mendefinisikan IC dalam artikelnya sebagai berikut:
“The sum of everything everybody
in your company knows that gives you a competitive edge in the market place. It
is intellectual material - knowledge, information, intellectual property,
experience - that can be put to use to create wealth”.
The Society of Management Accountants of Canada (SMAC) mendefinisikan IC sebagai berikut: In
balance sheet, intellectual assets are those knowledge-based items, which the
company owns which prodused a future stream of benefits for the company
(IFAC, 1998 dalam Sawarjuwono,2003).
Rastogi (2003) menyatakan bahwa “IC is the result
of the collaborative effort among the firm’s human and social capital and
knowledge management.” Definisi ini sama dengan Lev dan Daum (2002) dalam
arti bahwa IC keluar dengan sendirinya tetapi merupakan hasil dari network
effect(Choong, 2008).
Mouritsen et al. (2004) menyatakan bahwa “IC
mobilises “things” such as employees, customers, IT, managerial work, and
knowledge. IC cannot stand by itself as it merely provides a mechanism that
allows the various assets to be bonded together in the productive process of
the firm.”
Brooking (1996) dalam Ulum (2009) menawarkan definisi yang lebih komprehensif dengan
menyatakan bahwa istilah intellectual capital diberikan untuk kombinasi
intagible assets yang dapat membuat perusahaan untuk berfungsi.Brooking (1996)
menyatakan bahwaIC adalah istilah yang diberikan untuk menkombinasikan
intangible asset dari pasar, property intelektual, infrastruktur dan pusat
manusia yang menjsaikan suatu perusahaan menjadi berfungsi..
Roos et al. (1997) menyatakan bahwa “IC includes all the processes and the assets which
are not normally shown on the balance sheet and all the intangible assets
(trademarks, patent and brands) which modern accounting methods consider...”
sedangkan Bontis (1996) mengakui bahwa IC bersifat elusive, tetapi
sekali ditemukan dan dieksploitasi akan memberikan organisasi basis sumber baru
untuk berkompetisi dan menang (Ulum, 2009). Sementara
itu, Williams (2001) mendefinisikan IC sebagai berikut sebagai berikut:
“the enhanced
value of a firm attributable to assets, generally of an intangible nature,
resulting from the company’s organizational function,processes and information
technology networks, the competency and efficiency of its employees and its
relationship with its customers. Intellectual capital assets are developed from
(a) the creation of new knowledge and innovation; (b) application of present
knowledge to present issues and concerns that enhance employees and customers;
(c) packaging, processing and transmission of knowledge; and (d) the
acquisition of present knowledge created through research and learning”.
Banyak definisi dari IC menurut pakar dan kalangan
bisnis di atas, namun secara umum jika diambil suatu benang merah dari berbagai
definisi IC yang ada, maka IC dapat didefinisikan sebagai jumlah dari apa yang
dihasilkan oleh tiga elemen utama organisasi (human capital, structural
capital, customer capital) yang berkaitan dengan pengetahuan dan teknologi
yang dapat memberikan nilai lebih bagi perusahaan berupa keunggulan bersaing
organisasi(Sawarjuwono, 2003).Perbandingan konsep IC menurut beberapa ahli
dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1
Perbandingan
Konsep Intellectual Capital Menurut Beberapa Peneliti
Brooking
(UK)
|
Roos (UK)
|
Stewart
(USA)
|
Bontis
(Canada)
|
Human-centered
assets
Skills,
abilities and expertise, problem solving abilities and leadership styles
|
Human
capital
Competence,
attitude,
and
intellectual
agility
|
Human
capital
Employees
are an
organization’s
most
important
asset
|
Human
capital
The
individual level knowledge
that each
employee possesses
|
Infrastructure
assets
All the
technologies,
process
and methodologies that enable company to function
|
Organizational
capital
All
organizational,
innovation,
processes,
intellectual
property, and cultural assets
|
Structural
capital
Knowledge
embedded
in
information
technology
|
Structural
capital
Non-human
assets
or
organizational
capabilities
used
to meet
market
requirements
|
Intellectual
property
Know-how,
trademarks
and
patents
|
Renewal
and
development
capital
New
patents and
training
efforts
|
Structural
capital
All
patents, plans
and
trademarks
|
Intellectual
property
Unlike,
IC, IP is a protected asset
and has a
legal
definition
|
Market
assets
Brands,
customers,
customer
loyalty
and
distribution
channels
|
Relational
capital
Relationship
which
include
internal and
external
stakeholders
|
Customer
capital
Market
information
used to
capture and retain customers
|
Relational
capital
Customer
capital
is only
one feature
of the
knowledge
embedded
in
organizational
relationships
|
Sumber: Bontis et al. (2000)
Banyak praktisi yang menyatakan bahwa Intellectual
Capital terdiri dari tiga elemen utama (Stewart, 1998; Sveiby, 1997;
Saint-Onge, 1996; Bontis, 2000 dalam Sawarjuwono 2003) yaitu :
1. Human Capital (modal manusia)
Human Capital merupakan lifeblood
dalam modal intelektual. Disinilah sumber innovation dan improvement,tetapi
merupakan komponen yang sulit untuk diukur. Human capital juga merupakan
tempat bersumbernya pengetahuan yang sangat berguna, keterampilan, dan
kompetensi dalam suatu organisasi atau perusahaan.Human capital mencerminkan
kemampuan kolektif perusahaan untuk menghasilkan solusi terbaik berdasarkan
pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang yang ada dalam perusahaan tersebut.Human
capital akan meningkat jika perusahaan mampu menggunakan pengetahuan yang
dimiliki oleh karyawannya. (Brinker, 2000) memberikan beberapa karakteristik
dasar yang dapat diukur dari modal ini, yaitu training programs, credential,
experience, competence, recruitment, mentoring, learning programs, individual
potential and personality.
2. Structural Capital atau Organizational Capital (modal organisasi)
Structural Capital merupakan kemampuan organisasi atau perusahaan dalam memenuhi proses
rutinitas perusahaan dan strukturnya yang mendukung usaha karyawan untuk
menghasilkan kinerja intelektual yang optimal serta kinerja bisnis secara
keseluruhan, misalnya: sistem operasional perusahaan, proses manufacturing,
budaya organisasi, filosofi manajemen dan semua bentuk intellectual property
yang dimiliki perusahaan. Seorang individu dapat memiliki tingkat
intelektualitas yang tinggi, tetapi jika organisasi memiliki sistem dan
prosedur yang buruk maka intellectual capital tidak dapat mencapai
kinerja secara optimal dan potensi yang ada tidak dapat dimanfaatkan secara
maksimal.
3. Relational Capital
Elemen ini merupakan komponen modal intelektual yang memberikan
nilai secara nyata.Relational Capital merupakan hubungan yang harmonis/association
network yang dimiliki oleh perusahaan dengan para mitranya, baik yang
berasal dari para pemasok yang andal dan berkualitas, berasal dari pelanggan
yang loyal dan merasa puas akan pelayanan perusahaan yang bersangkutan, berasal
dari hubungan perusahaan dengan pemerintah maupun dengan masyarakat sekitar. Relational
Capital dapat muncul dari berbagai bagian diluar lingkungan perusahaan yang
dapat menambah nilai bagi perusahaan tersebut. Edvinsson seperti yang dikutip
oleh Brinker (2000) menyarankan pengukuran beberapa hal berikut ini yang
terdapat dalam modal pelanggan, yaitu:
a. Customer Profile.
Siapa pelanggan-pelanggan kita, dan bagaimana mereka
berbeda dari pelanggan yang dimilki oleh pesaing. Hal potensial apa yang kita
miliki untuk meningkatkan loyalitas, mendapatkan pelanggan baru, dan mengambil
pelanggan dari pesaing.
b. Costumer Duration.
Seberapa sering pelanggan kita berbalik kepada
kita?Apa yang kita ketahui tentang bagaimana dan kapan pelanggan akan menjadi
pelanggan yang loyal? Serta seberapa sering frekuensi komunikasi kita dengan
pelanggan.
c. Costumer Role.
Bagaimana kita mengikutsertakan pelanggan ke dalam
desain produk, produksi dan pelayanan.
d. Costumer Support.
Program apa yang digunakan untuk mengetahui kepuasan
pelanggan.
e. Customer Success.
Berapa besar rata-rata setahun pembelian yang
dilakukan oleh pelanggan.
Tabel 2. menyajikan komponen-komponen dari tiga elemen
utama IC. Tabel 2. mengacu pada IFAC (1998) yang membagi IC menjadi tiga
elemen utama, yaitu: Human Capital, Relational Capital, dan Organizational
Capital. Organizational meliputi intellectual property dan infrastructure
assets.
Tabel 2
Klasifikasi Intellectual
Capital
Human Capital
|
Relational Capital
(Costumer Capital)
|
Organizational (Structural Capital)
|
· know-how
·
pendidikan
·
vocational qualification
·
pekerjaan dihubungkan
dengan
pengetahuan
·
penilaian psychometric
·
pekerjaan dihubungkan
dengan
kompetensi
· semangat
enterpreneurial, jiwa
inovatif,
kemampuan
proaktif
dan reaktif,
kemampuan
untuk
berubah
|
· brand
· konsumen
·
loyalitas konsumen
· nama
perusahaan
· backlog
orders
· jaringan
distribusi
·
kolaborasi bisnis
·
kesepakatan lisensi
·
kontrak-kontrak yang
mendukung
·
kesepakatan franchise
|
Intellectual
property:
· paten
·
copyrights
· design
rights
· trade
secrets
· trademarks
· service
marks
Infrastructure
assets:
· filosofi
manajemen
· budaya
perusahaan
· sistem
informasi
· sistem
jaringan
· hubungan
keuangan
|
Sumber:
IFAC (1998)
|
4.
Pengklasifikasian
dan Pengukuran Intellectual Capital
Petrash (1996) mengembangkan model klasifikasi yang
dikenal dengan value platform model (Ulum, 2009). Model ini mengklasifikasikan intellectual capital
sebagai akumulasi dari human capital, organisational capital, dan customer
capital. Edvinsson dan Malone (1997) mengembangkan the Skandia Value Scheme,
yang mengklasifikasikan intellectual capital dan human capital sedangkan Haanes dan Lowendahl (1997) mengelompokkan
intellectual capital suatu perusahaan ke dalam competence dan relational
resources (Ulum, 2009). Model yang
dikembangkan Lowendahl (1997) memperbaiki model diatas dan membagi kategori
kompetensi dan rasional menjadi dua sub-kelompok (Tan et al., 2007):
1) individual; dan
2) collective.
Stewart (1997) mengklasifikasikan intellectual capital
ke dalam tiga format dasar, yaitu:
1) human capital;
2) structural capital; dan
3) customer capital.
The Danish Confederation of Trade Unions (1999) mengelompokkan
intellectual capital sebagai manusia, sistem dan pasar. Leliaert et al.
(2003) mengembangkan the 4-Leaf model, yang mengelompokkan intellectual capital
ke dalam human, customer, structural capital dan strategic alliance
capital (Tan et al., 2007).
Tabel 3
Pengembangan Pengklasifikasian Intellectual Capital
Dikembangkan Oleh
|
Kerangka Kerja
|
Klasifikasi
|
Kaplan dan Norton (1992)
|
Balance Scorecard
|
Internal process perspective
Customer perspective
Learning and growth perspective
Financial perspective
|
Haanes dan Lowendahl (1997)
|
Classification of Resources
|
Competence Relational
|
Lowendahl (1997)
|
Classification of Resources
|
Competence Relational
|
Sveiby (1997)
|
Intangible Asset Monitor
|
Internal structure
External structure
Competence of personnel
|
Edvinsson dan Malone (1997)
|
Skandia Value Scheme
|
Human capital
Structural Capital
Customer capital
|
Petrash (1996)
|
Value Platform
|
Human capital
Customer capital
Organizational capital
|
Danish Confederation of Trade Unions (1999)
|
Three categories of “Knowledge”
|
People
System
Market
|
Pulic (1999)
|
VAIC
|
Effiency of human capital
Structural capital efficiency
Capital employed efficiency
|
Sumber: Brennan dan Connell (2000); Petty dan Guthrie
(2000); Pulic (1999) dalam Ulum (2009)
Metode pengukuran intellectual capital dapat
dikelompokkan ke dalam dua kategori (Tan et al., 2007), yaitu:
1) model yang tidak menggunakan pengukuran moneter; dan
2) model yang menggunakan ukuran moneter.
Metode yang kedua tidak hanya termasuk metode yang
mencoba mengestimasi nilai uang dari intellectual capital, tetapi juga
ukuran-ukuran turunan dari nilai uang dengan menggunakan rasio keuangan.
Berikut adalah daftar ukuran intellectual capital yang berbasis non moneter
(Tan et al., 2007):
a.
The Balance Scorecard, dikembangkan oleh Kaplan dan
Norton (1992);
b. Brooking’s Technology Broker method (1996);
c.
The Skandia IC Report method oleh Edvinssion dan Malone (1997);
d. The IC-Index dikembangkan
oleh Roos et al. (1997)
e.
Intangible Asset Monitor approach oleh Sveiby (1997)
f.
The Heuristic Frame dikembangkan oleh Joia (2000);
g. Vital Sign Scorecard dikembangkan oleh Vanderkaay (2000); dan
h. The Ernst & Young Model (Barsky dan Marchant, 2000)
Sedangkan model penilaian intellectual capital yang
berbasis moneter adalah (Tan et al., 2007):
a.
The EVA and MVA model (Bontis et al., 1999)
b. The Market-to-Book Value model (beberapa penulis)
c.
Tobin’s q method (Luthy, 1998)
d. Pulic’s VAIC model (1998, 2000)
e.
Calculated intangible value (Dzinkowski, 2000); dan
The Knowledge capital Earnings model (Lev dan Feng, 2001).
4.1.Value
Added Intellectual CoefficientTM (Pulic
Model)
MetodeValue
Added Intellectual Coefficient(VAICTM) yang dikembangkan oleh Pulic (1999), didesain untuk menyajikan informasi tentang value
creation efficiency dari aset berwujud (tangible asset) dan aset
tidak berwujud (intangible assets) yang dimiliki perusahaan.Pulic (2001;
2002) dalam Nik Maheran et al. (2009), menyatakan VAICTM
membuat perusahaan dapat mengukur value creation efficiency.VAICTM
menggunakan laporan keuangan perusahaan untuk menghitung koefisien efisiensi
dalam tiga jenis modal, yaitu human capital, structure capital, dan
capital employed. Meskipun VAICTM menggunakan data akuntansi,
VAICTM tidak berfokus pada costperusahaan. VAICTM
hanya berfokus pada efisiensi sumber daya yang menciptakan nilai pada
perusahaan (Bornemann, 1999; Pulic, 2000 dalam Nik Maheran et al.,
2009). Nilai yang tinggi pada VAIC menunjukkan peningkatan efisiensi dalam
menggunakan modala perusahaan, karena VAIC dihitung dari penjumlahan efisiensi
dari capital employed, efisiensi dari human capital efficiency,
dan efisiensi dari structural capital(Nik Maheran et al., 2009).
Pulic (2001) menyatakan bahwa nilai pasar perusahaan diciptakan oleh capital
employed (fisik dan finansial) dan IC (Nik Maheran et al., 2009).
Model ini dimulai dengan kemampuan perusahaan untuk
menciptakan value added (VA). VA adalah indikator paling objektif untuk
menilai keberhasilan bisnis dan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam
penciptaan nilai (value creation). VA dihitung sebagai selisih antara
output dan input (Pulic, 1999).
Tan et al. (2007) menyatakan bahwa output (OUT)
merepresentasikan revenue dan mencakup seluruh produk dan jasa yang
dijual di pasar, sedangkan input (IN) mencakup seluruh beban yang digunakan
dalam memperoleh revenue. Hal penting dalam model ini adalah bahwa beban
karyawan (labour expenses) tidak termasuk dalam IN. Karena peran
aktifnya dalam proses value creation, intellectual potential (yang
direpresentasikan dengan labour expenses) tidak dihitung sebagai cost
dan tidak masuk dalam komponen IN. Karena itu, aspek kunci dalam model
Pulic adalah memperlakukan tenaga kerja sebagai entitas penciptaan nilai (value
creating entity).VA dipengaruhi oleh efisiensi Human Capital (HC)
dan Structural Capital (SC).
4.2. Value
Added Capital Employed Coefficient (VACA)
Hubungan VA
yang pertama adalah menggunakan modal fisik (CA), disebut sebagai “value
added capital coefficient” (VACA).Hal ini merupakan indikator bahwa VA
diciptakan oleh satu unit modal fisik.
Pulic mengasumsikan bahwa jika 1 unit dari CA
menghasilkan return yang lebih besar dalam satu perusahaan daripada
perusahaan yang lain, maka perusahaan tersebut lebih baik dalam memanfaatkan
CA-nya. Dengan demikian, pemanfaatan CA yang lebih baik merupakan bagian dari
IC perusahaan.Bila dibandingkan lebih dari sekelompok perusahaan, VACA menjadi
indikator dari kemampuan intelektual perusahaan untuk lebih memanfaatkan modal
fisik.
4.3. Human
Capital Coefficient (VAHU)
Hubungan yang kedua adalah VA dan HC. ”Human Capital
Coefficient” (VAHU) menunjukkan berapa banyak VA dapat dihasilkan dengan
dana yang dikeluarkan untuk tenaga kerja. Hubungan antara VA dan HC
mengindikasikan kemampuan dari HC untuk menciptakan nilai di dalam perusahaan.
Konsisten dengan pandangan para penulis IC terkemuka lainnya (Edvinsson, 1997;
Sveiby, 1998; Pulic, 1998 dalam Tan et al., 2007) berpendapat bahwa
total biaya gaji dan upah merupakan indikator dari HC perusahaan. Pulic
berpendapat bahwa sejak pasar menentukan gaji sebagai akibat dari kinerja,
secara logis dapat disimpulkan bahwa keberhasilan HC harus dinyatakan dengan
kriteria yang sama.
Dengan demikian, hubungan antara VA dan HC menunjukkan
kemampuan untuk menciptakan nilai HC dalam sebuah perusahaan.Demikian pula,
jika dibandingkan dengan lebih dari satu kelompok perusahaan, VAHU menjadi
indikator kualitas sumber daya manusia dari perusahaan dan kemampuan mereka
untuk menghasilkan VA untuk setiap rupiah yang dikeluarkan untuk HC.
4.4.
Structural Capital Coefficient (STVA)
Hubungan ketiga
adalah "Structural Capital Coefficient" (STVA), yang
menunjukkan kontribusi structural capital (SC) dalam penciptaan nilai.
Dalam model Pulic, SC adalah VA dikurangi HC. Apabila kontribusi dalam
penciptaan nilai HC kurang, maka semakin besar kontribusi dari SC. Dalam Tan et
al. (2007), Pulic (2000) berpendapat, hal ini telah diverifikasi oleh
penelitian empiris yang menunjukkan sektor industri tradisional. Dalam industri
berat dan pertambangan misalnya, VA hanya sedikit lebih besar dari HC, dengan
komponen SC yang tidak signifikan.
Di sisi
lain, dalam industri farmasi dan sektor perangkat lunak, situasi yang sama
sekali berbeda diamati. HC menciptakan hanya 25-40 persen dari seluruh VA dan
kontribusi besar disebabkan oleh SC. Oleh karena itu, hubungan antara ketiga VA
dan SC yang digunakan dihitung dengan cara yang berbeda karena HC dan SC berada
dalam proporsi terbalik sejauh menyangkut penciptaan nilai. STVA mengukur
jumlah SC yang diperlukan untuk menghasilkan rupiah dari VA dan merupakan
indikasi bagaimana SC sukses dalam penciptaan nilai.Tidak seperti VACA dan
VAHU, VA adalah pada penyebut untuk STVA.
Rasio
terakhir adalah perhitungan kemampuan intelektual perusahaan. Ini adalah jumlah
dari koefisien-koefisien yang telah dihitung sebelumnya.Hasilpenjumlahan ini
diformulasikan dalam indikator baru dan unik, yaitu VAICTM (Tan et
al., 2007).
Metode Pulic ini memiliki daya tarik dalam hal
kemudahan pemerolehan data dan memungkinkan analisis lebih lanjut akan
dilakukan pada sumber-sumber data lainnya. Data yang diperlukan untuk
memperoleh rasio standar dari angka finansial standar pada umumnya tersedia
dari laporan keuangan auditan.
Hubungan Intellectual
capital dengan Kinerja perusahaan
Penelitian yang telah dilakukan para pakar banyak
menemukan bukti bahwa terdapat hubungan antara Intellectual capital dengan
kinerja perusahaan, antara lain Firer dan Williams (2003), Chen et al.(2005),
Syed Najibullah (2005), Tan et al. (2007), Ghosh & Mondal (2009),
dan Zeghal & Maaloul (2010).
Firer dan Williams (2003) melakukan penelitian
mengenai pengaruh intellectual capital terhadap kinerja
perusahaan.Penelitiannya menggunakan objek 75 perusahaan sektor publikk yang
terdaftar di Afrika Selatan pada tahun 2001.Di dalam penelitiannya, intellectual
capitaldiproksikan dengan (VAICTM) dan kinerja perusahaannya
terdiri atas, profitabilitas (ROA), produktivitas (ATO), market to book
value (M/B).Hasil dari penelitiannya ini menunjukkan bahwa intellectual
capital hanya berpengaruh terhadap market to book value dan
produktivitas.Profitabilitas tidak memiliki pengaruh.Secara keseluruhan, hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa physical capital (modal fisik) merupakan
faktor yang paling signifikan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan di Afrika
Selatan.
Chen et al. (2005) menggunakan model Pulic
(VAICTM) untuk menguji hubungan antara intellectual capital terhadap
nilai pasar dan kinerja keuangan dengan sampel 4.254 perusahaan yang go
public di Taiwan Stock Exchange. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa intellectual capital berpengaruh secara positif terhadap nilai
pasar dan kinerja perusahaan.Selain itu, Chen et al. juga membuktikan
bahwa biaya research dan development merupakan informasi tambahan
yang berpengaruh terhadap kinerja keuangan, sedangkan biaya iklan tidak
berpengaruh terhadap nilai pasar dan kinerja perusahaan.
Mavridis (2004) melakukan penelitian pada perusahaan
perbankan di Jepang dimana hasilnya membuktikan bahwa kinerja yang paling baik
adalah bank yangmengelola IC-nya dengan lebih baik dan lebih sedit penggunaan
modal fisiknya..
Penelitian yang baru-baru ini (Tan et al., 2007)
selain menguji hubungan IC dengan kinerja perusahaan, mereka juga menguji
kapabilitas prediktif IC terhadap kinerja keuangan di masa depan. Selanjutnya
di Indonesia, Kuryanto (2008) mereplikasi penelitian Tan et al. (2007),
tetapi hasilnya bertentangan karena pada penelitian Tan et al. (2007)
semua hipotesisnya didukung sedangkan pada penelitian oleh Kuryanto (2008), IC
dan kinerja perusahaan tidak berhubungan secara positif, IC tidak berhubungan
dengan kinerja keuangan perusahaan masa depan, ROGIC tidak secara positif
berhubungan dengan kinerja perusahaan dan kontribusi IC kepada kinerja
perusahaan berbeda sesuai industrinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur
pengaruh intellectual capital terhadap kinerja keuangan perusahaan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan menggunakan Pulic Model (VAIC),
mengacu pada penelitian Tan et al. (2007). Kinerja keuangan yang
digunakan adalah return on equity (ROE), earnings per share (EPS),
dan annual stock return (ASR). Pemilihan indikator kinerja tersebut
mengacu pada penelitian Tan et al. (2007).Data yang digunakan berupa
informasi yang terdapat dalam laporan keuangan perusahaan yang terdaftar di BEI
pada tahun 2006-2008.
Penutup
Menurut resouce based theory, intellectual
capital merupakan sumber daya unik yang mampu menciptakan keunggulan
kompetitif perusahaan sehingga dapat meningkatkan kinerja perusahaan menjadi
semakin baik dan menciptakan value bagi perusahaan. Perusahaan yang memiliki
keunggulan kompetitif tentunya akan dapat bersaing dengan lawan bisinisnya dan
keberlanjutan perusahaan akan terjamin. Jika keberlanjutan perusahaan
terjamin,maka persepsi pasar terhadap nilai perusahaan akan meningkat. Hal
tersebut dapat membuat perusahaan memiliki nilai tambah dibandingkan dengan
perusahaan lain.
Investor yang menilai perusahaan secara keseluruhan
akanmemberi nilai lebih bagi perusahaan yang mempunyai kinerja yang baik. Hal
ini membuat investorakan menempatkan nilai yang lebih tinggi pada perusahaan
yang memiliki intellectual capital yang besar. Semakin tinggi intellectual
capital(VAICTM) maka nilai perusahan akan meningkat dan membuat
sahamnya akan banyak diminati oleh investor sehingga permintaan akan saham
perusahaan tersbut akan naik sehingga menyebabkan harga saham menjadi naik.
Oleh karena itu, intellectual capital diyakini memegang peran penting
dalam meningkatkan nilai perusahaan di mata pelaku pasar modal (Ghosh
& Mondal, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Abdolmohammadi, M. J. 2005. “Intellectual Capital
Disclosure and Market Capitalization”,dalam Journal of Intellectual Capital.
Vol 6, No. 3, hlm.397-416
Accounting Standards Board. 1997. Goodwill and
Intangible Assets. FRS 10. Accounting Standards Board, London.
Astuti, P. D. dan Arifin S. 2005. Hubungan Intellectual
Capital dan Business Perfomance dengan Diamond Spesification: Sebuah Perspektif
Akuntansi. SNA VIII, hlm. 694-707.
Barney, J. B. 1991. “Firm resources and sustained
competitive advantage”, dalam Journal ofManagement.Vol.17, No.1, hlm. 99-121.
Bollen, L., Philip V., dan Stephanie S. 2005. “Linking
Intellectual Capital and Intellectual Property to CompanyPerformance,” dalam Management
Decision. Vol. 43, No. 9. hlm 1161-1185.
Canton, J. 2009. “The Extreme Future” (Terj.)
InyiakRidwanMuzir. Jakarta: PustakaAlvabet.
Chen, M.C, Cheng S.J, dan Hwang Y. 2005. “An Empirical
Investigation of The Relationship Between Intellectual Capital and Firm’s Value
and Financial Performance,” dalam Journal of Intellectual Capital. Vol.6, No.2.
hlm 159-176.
Daum, J.H. 2005. “Intangible Assets-Based Enterprise
Management: A Practical Approach”,Proceedingof 2005 PMA IC Symposium.
Manhattan.
Firer, S., dan S. M. Williams. 2003. “Intellectual
Capital and Traditional Measures of Corporate Performance,” dalam Journal of
Intellectual Capital, Vol. 4, No. 3. hlm. 349-460.
Ghosh, S. dan Amitava M. 2009. “Indian Software and
Pharmaceutical Sector IC and Financial Performance,” dalam Journal of
Intellectual Capital. Vol.10, No.3. hlm 369-388.
Goh, P.C. 2005. “Intellectual Capital Performance of
Commercial Banks in Malaysia.” Vol.6, No.3. hlm 385-396.
Hermans, R. 2004, “International Mega-Trends and
Growth Prospects of the FinnishBiotechnology Industry”, Proceeding ETLA, The
Research Institute of the Finnish Economy. Helsinki.
Hurwitz, J., Stephen L., Bill M., dan Jeffrey S. 2002.
“The Lingkage between Management Practices, Intangibles Performance and Stock
Returns,” dalam Journal of Intellectual Capital. Vol.3, No.1. hlm 51-61.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan No.19. Salemba Empat: Jakarta
International Accounting Standards Board. 2004. Intangible
Assets. IAS 38. International Accounting Standards Board, London.
Kamath, G. B. “The Intellectual Capital Performance of
Indian Banking Sector,” dalamJournal of Intellectual Capital, Vol.8, No. 1. pp.
96-123.
Kuryanto, B., dan M. Syafrudin. 2008. ”Pengaruh Intellectual
Capital Terhadap Kinerja Perusahaan”. Proceeding SNA XI. Pontianak.
Madhani, P. M. “Resource Based View (RBV) of
Competitive Advantage: An Overview.” http://ssrn.com/abstract=1578704. Diakses
Maret 2011.
Maviridis, D. G. 2004. “The Intellectual Capital
Performance of The Japanese Banking Sector,” dalamJournal of Intellectual
Capital, Vol. 5, No. 1. hlm. 92-115.
Mouritsen, J., Bukh, P.N. and Marr, B. 2004.
“Reporting on Intellectual Capital: Why, What andHow?” dalam Measuring Business
Excellence, Vol. 8 No. 1, hlm. 46-54.
Nik Maheran, N.M., Filzah, M.I. and Nik Rozhan, N.I.
(2009), Intellectual Capital Efficiency Level ofMalaysian Financial Sector:
Panel Data Analysis (2002-2006), available at: www.nikmaheran.com/v1/attachments/030_Intelectual_capital.pdf
Najibullah, S. 2005. “An Empirical Investigation of
The Relationship Between IntellectualCapital and Firms’ Market Value and
Financial Performance : in Context of Commercial Banks of Bangladesh”, Independent
University. Bangladesh.
Ramadhan, I. I. 2009. “Pengaruh Intellectual Capital
terhadap Kinerja PerusaahanManufaktur yang Terdaftar di BEI Tahun 2002-2007”. Skripsi.
Tidak Dipublikasikan.Universitas Diponegoro. Semarang.
Pulic, A. 1999. “Basic Information on VAICTM”.
www.vaic-on.net. Diaskses Maret 2011.
Rastogi, P.N. 2003. “The Nature and Role of IC –
Rethinking The Process of Value Creation andSustained Enterprise Growth”, dalam
Journal of Intellectual Capital, Vol. 4 No. 2, hlm. 227-248.
Sawarjuwono, T. dan Agustine P. K. 2003. “Intellectual
Capital: Perlakuan, Pengukuran, dan Pelaporan (Sebuah Library Research),” dalam
Jurnal Akuntansidan Keuangan. Vol.5, No.1.
hlm 35-57. Surabaya: Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Univesitas Airlangga.
Sharabati, A. A. A., Shawqi N. J., dan N. Bontis.
2010. “Intellectual Capital and Business Performace in the Pharmaceutical
Sector of Jordan,” dalam Management Decision. Vol. 48, No. 1. hlm. 105-131.
Stewart, T.A. 1997. Intellectual Capital: The new
Wealth of Organizations. New York: Doubleday Dell Publishing Group, Inc
Tan, H. P., Plowman, D., dan Hancock, P. 2007.
“Intellectual Capital and Financial returns of Comapanies“ dalam Journal of
Intellectual Capital.Vol. 8, No. 1. hlm. 76-95.
Ulum, I, I. Ghozali, dan A. Chariri. 2008. “Intellectual
Capitaldan Kinerja Keuangan Perusahaan: Suatu Analisis dengan Pendekatan PLS”
dalamSNA XI.Vol. 1. hlm 1-32.
Ulum, I. 2009. Intellectual Capital: Konsep dan Kajian
Empiris. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Walsh, C. 2004. “Key Management Ratios”(Terj.)
Shalahudin Haikal. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Williams,S.M. 2001. “Is Intellectual Capital
Performance and Disclosure Practices Related?”, dalam Journal of
Intellectual Capital. Vol. 2, No. 3. Hlm. 192-203.
Zeghal, D. dan A. Maaloul. 2010. “Analysing Value
Added as an Indicator of Intellectual Capital and Its Consequences on Company
Performace,” dalam Journal of Intellectual Capital. Vol.11, No.1. hlm 39-60.
Zhang, X., dan Rongqiu C. 2006.
“Forecast-Driven or Customer-Order-Driven? An Empirical Analysis of the Chinese
Automotive Industry,” dalam International Journal of Operations &
Production Management, Vol. 26, No. 6. hlm 668-688
Zucker, L.G., Darby, M.R., dan Brewer, M.B. 1994,
“Intellectual Capital and The Birth OfUS Biotechnology Enterprise”, dalam
Working Paper Series4653, NBER. Cambridge.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar