KONSEP MODAL MANUSIA (HUMAN CAPITAL CONCEPT)
Pimpinan perlu meningkatkan berbagai
potensi SDM agar mampu memberdayakannya secara optimal dalam mencapai kinerja,
sehingga mampu mendudukkan organisasi pada posisi yang lebih baik dibandingkan dengan organisasi lainnya. Dengan manajemen SDM yang baik,organisasi akan
memiliki kekuatan kompetitif dan akan menjadi sulit untuk ditiru, sehingga
sumber-sumber keberhasilan kompetitif tradisional seperti teknologi proses
produksi, proteksi pasar, akses terhadap sumber keuangan dan skala ekonomi
seharusnya menjadi lebih berdaya guna.
Manusia sebagai human capital tercermin
dalam bentuk pengetahuan, gagasan (ide), kreativitas, keterampilan, dan
produktivitas kerja. Tidak seperti bentuk kapital lain yang hanya diperlakukan
sebagai tools, human capital ini dapat menginvestasikan dirinya sendiri melalui
berbagai bentuk investasi SDM, diantaranya pendidikan formal, pendidikan
informal, pengalaman kerja, kesehatan, dan gizi serta transmigrasi (Fattah,
2004). Modal manusia adalah komponen
yang sangat penting di dalam organisasi. Manusia dengan segala kemampuannya
bila dikerahkan keseluruhannya akan menghasilkan kinerja yang luar biasa. Ada
enam komponen dari modal manusia(Ancok,2002), yakni:
1) Modal
intelektual; Modal intelektual
(intellectual capital). Modal
intelektual adalah perangkat yang diperlukan untuk menemukaan peluang dan
mengelola ancaman dalam kehidupan. Banyak pakar yang mengatakan bahwa modal
intelektual sangat besar peranannya di dalam menambah nilai suatu kegiatan.
Organisasi yang unggul dan meraih banyak keuntungan adalah organisasi yang
terus menerus mengembangkan sumberdaya manusianya (Ross dkk., 1997). Manusia memiliki
sifat proaktif dan inovatif untuk mengelola perubahan lingkungan kehidupan (ekonomi,
sosial, politik, teknologi, hukum dan lain-lain) yang sangat tinggi
kecepatannya. Mereka yang tidak beradaptasi pada perubahan yang super cepat ini
akan dilanda kesulitan.
2) Modal
emosional; Goleman (1996) menggunakan
istilah emotional intelligence untuk menggambarkan kemampuan manusia untuk
mengenal dan mengelola emosi diri sendiri, serta memahami emosi orang lain agar
dia dapat mengambil tindakan yang sesuai dalam berinteraksi dengan orang lain.
Ancok (2005), terdapat empat dimensi dari kecerdasan emosional yakni:
a) Self
Awareness adalah kemampuan untuk memahami emosi diri sendiri secara tepat dan
akurat dalam berbagai situasi secara konsisten. Bagaimana reaksi emosi di saat
menghadapi suatu peristiwa yang memancing emosi, sehingga seseorang dapat memahami
respon emosi dirinya sendiri dari segi positif maupun segi negatif.
b) Self
Management adalah kemampuan mengelola emosi secara baik, setelah memahami emosi
yang sedang dirasakannya, apakah emosi positif atau negatif.Kemampuan mengelola
emosi secara positif dalam berhadapan dengan emosi diri sendiri akan membuat
seseorang dapat merasakan kebahagiaan yang maksimal.
c) Social
Awareness adalah kemampuan untuk memahami emosi orang lain dari tindakannya
yang tampak. Ini adalah kemampuan berempati, memahami dan merasakan perasaan
orang lain secara akurat. Dengan adanya pemahaman ini individu sudah memiliki
kesiapan untuk meenanggapi situasi emosi orang lain secara positif.
d) Relationship
Management adalah kemampuan orang untuk berinteraksi secara positif pada orang
lain, betapapun negatifnya emosi yang dimunculkan oleh orang lain.
3) Modal
sosial; Pandangan para ahli dalam
mendefinisikan konsep modal sosial dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok
(Ancok, 1998). Kelompok pertama menekankan pada jaringan hubungan sosial
(social network), sedangkan kelompok kedua lebih menekankan pada karakteristik (traits)
yang melekat (embedded) pada diri individu manusia yang terlibat dalam sebuah interaksi
sosial. Pandangan kelompok pertama menekankan pada aspek jaringan hubungan sosial
yang diikat oleh kepemilikan informasi, rasa percaya, saling memahami, dan
kesamaan nilai, dan saling mendukung. Menurut pandangan kelompok ini modal
sosial akan semakin kuat apabila sebuah komunitas atau organisasi memiliki
jaringan hubungan kerjasama, baik secara internal komunitas/organisasi, atau
hubungan kerjasama yang bersifat antar komunitas/organisasi. Jaringan kerja
sama yang sinergistik yang merupakan modal sosial akan memberikan banyak
manfaat bagi kehidupan bersama. Pendapat
ahli dari kelompok kedua; Semakin luas pergaulan seseorang dan semakin luas
jaringan hubungan sosial (social networking) semakin tinggi nilai seseorang.
Modal sosial dimanifestasikan pula dalam kemampuan untuk bisa hidup dalam
perbedaan dan menghargai perbedaan (diversity). Pengakuan dan penghargaan atas
perbedaan adalah suatu syarat tumbuhnya kreativitas dan sinergi. Kemampuan
bergaul dengan orang yang berbeda, menghargai dan memanfaatkan secara bersama
perbedaan tersebut akan memberikan kebaikan buat semua. Kemampuan membangun
jaringan sosial inilah yang disebut dengan modal sosial.
4) Modal ketabahan,
Konsep modal ketabahan berasal dari
pandangan Paul G. Stoltz (1997) dalam Ancok (2002) yang ditulis dalam buku
Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities. Ketabahan adalah
modal untuk sukses dalam kehidupan, apakah itu kehidupan pribadi ataukah
kehidupan organisasi. Stoltz membedakan tiga tipe manusia: quitter, camper dan
climber. Tipe pendaki gunung yang mudah menyerah dinamainya dengan quitter,
yakni orang yang bila berhadapan dengan masalah memilih untuk melarikan diri
dari masalah dan tidak mau menghadapi tantangan guna menaklukkan masalah. Tipe camper adalah tipe yang berusaha tapi
tidak sepenuh hati. Bila dia menghadapi sesuatu tantangan dia berusaha untuk
mengatasinya, tapi dia tidak berusaha mengatasi persoalan dengan segala kemampuan
yang dimilikinya. Tipe ketiga adalah
climber yang memiliki stamina yang luar biasa di dalam menyelesaikan masalah.
Dia tipe orang yang pantang menyerah sesulit apapun situasi yang dihadapinya.
Dia adalah pekerja yang produktif bagi organisasi tempat dia bekerja.
5) Modal
moral; Kalau sebuah organisasi
melakukan perilaku yang melanggar etika bisnis maka kerugianlah yang akan
dialaminya. Sepatu merk Nike kehilangan banyak pembeli setelah ada publikasi
yang luas mengenai anak-anak di bawah umur yang bekerja di perusahaan Nike yang
berlokasi di negara-negara berkembang (Hawkins et.al ,1998). Terdapat empat
komponen modal moral yang membuat seseorang memiliki kecerdasan moral yang
tinggi yaitu:
a) Integritas
(integrity), yakni kemauan untuk mengintegrasikan nilai-nilai universal di
dalam perilaku. Individu memilih berperilaku yang tidak bertentangan dengan
kaidah perilaku etikal yang universal.
b) Bertanggung
jawab (responsibility) atas perbuatan yang dilakukannya. Hanya orang-orang yang
mau bertanggung jawab atas tindakannya dan memahami konsekuensi dari
tindakannya yang bisa berbuat sejalan dengan prinsip etik yang universal.
c) Penyayang
(compassionate) adalah tipe orang yang tidak akan merugikan orang lain, karena
dia menyadari memberi kasih sayang pada orang lain adalah juga sama dengan
memberi kasih sayang pada diri sendiri.
d) Pemaaf
(forgiveness) adalah sifat yang diberikan pada sesama manusia. Orang yang
memiliki kecerdasan moral yang tinggi bukanlah tipe orang pendendam yang
membalas perilaku yang tidak menyenangkan dengan cara yang tidak menyenangkan
pula.
6) Modal
kesehatan. Covey (1990) mengatakan
bahwa kesehatan adalah bagian dari kehidupan yang harus selalu dijaga dan
ditingkatkan kualitasnya sebagai pendukung manusia yang efektif. Badan atau
raga adalah wadah untuk mendukung manifestasi semua modal di atas. Badan yang
tidak sehat akan membuat semua modal di atas tidak muncul dengan maksimal. Oleh
karena itu kesehatan adalah bagian dari modal manusia agar dia bisa bekerja dan
berfikir secara produktif.
Keenam komponen modal manusia ini akan
muncul dalam sebuah kinerja yang optimum apabila disertai oleh modal
kepemimpinan dan modal struktur organisasi yang memberikan wahana kerja yang
mendukung. Dalam konteks organisasi, atau penerapan konsep psikologi positif
pada lingkungan kerja, ilmu ini sering disebut dengan Positive Organizational
Behavior (POB) (Luthans,2002).
Positive Organizational Behavior (POB)/Perilaku Organisasi Positif
Definisi
dari POB menurut Luthans (2002) adalah studi dan aplikasi dari kapasitas
psikologi dan kekuatan dari sumber daya manusia yang berorientasi secara
positif, yang dapat diukur, dikembangkan, dan secara efektif dapat dikelola
untuk meningkatkan kinerja di organisasi pada saat ini.
Pada
awalnya, pembentukan teori POB mencakup: confidence, hope, optimism, subjective
well-being, resiliency, & emotional intelligence. Namun, perkembangan studi
selanjutnya mengidentifikasi bahwa faktor-faktor psikologi positif yang
signifikan berpengaruh pada kinerja organisasi hanya Hope, Resiliency, dan
Optimism. Variabel-variabel tersebut dipilih sebab memenuhi kriteria-kriteria
sebagai berikut:
a) Bersifat
positif;
b)
Unik untuk bidang perilaku organisasi,
dengan berdasar pada teori dan penelitian yang valid; serta
c) Terbuka
untuk pengembangan, perubahan, dan manajemen untuk perbaikan kinerja.
Kemudian
dari aplikasinya berkembang menjadi Empat yang mendukung karakteristik POB –
Harapan (Hope State), Optimisme (Optimism State), Ketahanan/Ketabahan
(Resiliency State) dan Self-efficacy/Confidence (Kemampuan Percaya Diri). Studi menunjukkan bahwa mengembangkan
elemen-elemen menyebabkan dampak kinerja dan keunggulan kompetitif dalam
organisasi (..\QualityofService\TheImportanceOfResilience.pdf):
1) Harapan
memiliki dasar penelitian dalam arena atletik dengan perhatian sekarang beralih
ke dampaknya dalam dunia bisnis,
2)
Optimisme telah ditemukan dihubungkan
dengan dampak Pemimpin, yang memiliki efek positif pada hasil organisasi,
3) Ketahanan
adalah menemukan dirinya menjadi komponen penting untuk kepemimpinan otentik di
mana kemampuan untuk 'kembali ' dari keterpurukan telah menunjukkan untuk
menjadi kapasitas yang dapat dikembangkan.
Jelas
ini berkaitan erat dengan konteks (situasi atau organisasi) individu bekerja.
Variabel POB
Hope State(Harapan):
Kapabilitas
untuk menciptakan dan pada akhirnya merealisasikan terbentuknya “jalan” menuju
target/cita-cita yang diinginkan manusia dan memotivasi diri untuk menemukan
inisiatif metoda untuk menggunakan “jalan” tersebut.
Secara
umum beberapa penelitian menyimpulkan bahwa jika seseorang memiliki harapan
(hopeful) maka orang tersebut akan memiliki motivasi dan percaya diri yang
lebih baik untuk mencapai target kinerja dari pekerjaannya, dan selain itu,
orang tersebut akan memiliki “saluran” alternatif untuk mencapai targetnya
ketika ia memperoleh hambatan. Secara khusus sudah ada penelitian yang dapat
membuktikan hubungan pengaruh positif tentang hope terhadap kinerja di bidang
atletik, tetapi belum banyak upaya yang dilakukan untuk mencari tahu hubungan
pengaruh hope terhadap prestasi pendidikan dan kerja.
Resiliency State(Ketahanan/Ketabahan):
Dalam
POB, resiliency didefinisikan sebagai kapasitas seseorang untuk memecahkan
berbagai kesulitan, ketidakpastian, konflik, kegagalan, atau bahkan kapasitas
untuk melakukan perubahan diri untuk mencapai kemajuan, maupun untuk
meningkatkan tanggung jawab. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa orang yang
telah memiliki ketahanan/ketabahan (resilient) yang tinggi, cenderung untuk
lebih efektif dalam mengarungi berbagai permasalahan hidupnya, termasuk
kemampuannya dalam hal menyesuaikan dan mengembangkan dirinya dalam berbagai
kondisi psikologis yang tidak menyenangkannya.
Optimism (Optimisme) State:
Tiger
(2000) mendefinisikan optimisme sebagai suatu perilaku diri yang diasosiasikan
dengan interpretasi mengenai sosial atau material; yang sangat dibutuhkan
manusia sebagai makhluk sosial untuk mencapai kemajuan atau kesenangan diri.
Psikologi positif menyatakan bahwa setiap orang yang memiliki ‘realistic
optimism’ akan tetap komit untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi, karena ia
cenderung untuk mampu memanfaatkan berbagai attributional explanatory style
sebagai cara untuk beradaptasi. Bagi mereka, kemunduran tidak dianggap sebagai
kegagalan, tetapi sebagai tantangan dan peluang untuk menjadi lebih sukses.
Self-efficacy/Confidence(Kemampuan
Percaya Diri). Kemampuan diri atau
Kepercayaan Diri, didefinisikan oleh Bandura (1997 dalam The importance of
personal resilience www.head-light.co.uk
2004), dapat disesuaikan untuk diterapkan pada individu dalam sebuah organisasi
sebagai 'keyakinan tentang kemampuan mereka untuk memobilisasi motivasi, sumber
daya kognitif dan tindakan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas tertentu' .
PETERSON, et.al (2011) menemukan bahwa bukti bahwa modal psikologis dapat menjadi
sumber daya, yang penting sebagian besar diabaikan untuk memberikan dampak positif kinerja
kerja karyawan. Secara khusus, modal psikologis (positif) berguna untuk proses perkembangan sumber daya manusia dan kinerja manajemen.
Modal Psikologis Positif
Sebuah pandangan berbasis sumber daya
perusahaan menunjukkan bahwa penggunaan sumber daya manusia secara optimal
dapat menjadi sumber utama keunggulan kompetitif karena pesaing sangat sulit
bagi untuk meniru (Barney, 1991). Pandangan berbasis sumber daya ini telah
menyebabkan perhatian yang cukup besar dalam pengembangan bidang sumber daya
manusia (SDM) yang difokuskan pada
evaluasi nilai dan dampak dari sumber daya manusia pada kinerja organisasi.
Namun perkembangan ilmu pengetahuan menghendaki untuk melampaui
modal manusia (umumnya diakui sebagai
pendidikan, pengalaman, dan pengetahuan sumber daya manusia sekalipun secara implisit) dengan berfokus pada apa yang telah disebut "modal
psikologis" yang positif (Luthans &
Youssef, 2004; Luthans,
Youssef, 2007). Secara
khusus, modal psikologis atau, cukup, PsyCap, adalah tidak hanya peduli dengan
"siapa diri Anda" (yaitu,
modal manusia), tetapi juga, dalam arti
perkembangan "siapa Anda
akan menjadi apa", Anda adalah
"diri terbaik" (Luthans,
Youssef et al,
2007., hal. 20). Salah satu modal psikologis yang makin banyak
diteliti dan dibahas oleh para pakar adalah resiliency atau ketahananan mental
(ketabahan) personil.
Sumber Daya
Ketahanan/Ketabahan PsyCap [Psychological
Capital] (The Resilience Resource of PsyCap).
Ketahanan "mengacu pada fenomenan yang ditandai dengan pola adaptasi positif
dalam konteks kesulitan yang signifikan atau risiko, yang memungkinkan individu untuk bangkit kembali dengan cepat dan efektif dari efek
samping (Masten & Reed, 2002, hal.
75). Ketahanan adalah
perbedaan antara mereka yang sembuh
dengan baik setelah kesulitan
dan mereka yang tetap hancur dan tidak bisa bergerak maju (Blok &
Kremen, 1996;. Masten
et al, 1985).
Richardson (2002) berpendapat bahwa mereka yang mempunyai
ketahanan lebih tinggi secara psikologis (termasuk emosi dan kognisi) akan
bangkit kembali ke tingkat di, atau
bahkan di luar, sebelumnya
tingkat homeostasis atau keseimbangan.
Modal Psikologis Positif dan Bisnis
Ketahanan/Ketabahan
merupakan pencapaian
adaptasi
positif dalam
menghadapi kesulitan
yang signifikan
melibatkan kemajuan
perkembangan,
kerentanan
dan tantangan baru
dan
/
atau
kekuatan
dan peluang
sering muncul
dengan
perubahan keadaan
selama
hidup.
Ketahanan
bukanlah sesuatu
individu
'memiliki'
-
itu adalah
proses perkembangan tertentu yang
berulang
yang bersifat
tidak tetap
atau
berubah
"(Cicchetti,
2010, hal
146.).
Ini merupakan kecerdasan mental yang dapat dimiliki seseorang melalui proses
kehidupan yang di dalamnya terjadi suatu peristiwa yang terjadi berada di luar
kendalinya, sehingga menjadikan dirinya seperti mendapat “serangan” yang harus
dilawan.
Ketahanan/Ketabahan
dalam
bisnis dan
kerja
Menurut
Graham
Jones
di
Harvard Business Review bulan Juni (http://head-light.co.uk/Articles/TheImportanceOfResilience.pdf),
ketahanan
pribadi atau
ketangguhan mental/
kecerdasan mental adalah kunci
untuk keunggulan,
baik dalam
olahraga
dan bisnis.
Penelaahan terhadap
artikel ini,
diketahui
karakteristik
berikut sebagai
fondasi
mental
pemain
elit/pebisnis:
1) Mereka
berkonsentrasi pada apa yang mereka dapat mengontrol dan tidak menyibukkan diri
dengan yang lain,
2) Mereka
tidak memikirkan kemunduran,
3) Mereka
memiliki fokus yang kuat alternatif yang menyediakan tangguh dan pemulihan;
contoh yang olahragawan dengan gairah untuk musik, atau bisnis-orang-orang yang
daya tahan atlet, mengejar mereka diamati dari tujuan jangka panjang dan
aspirasi membantu mereka menempatkan
jangka pendek kecil kegagalan dalam perspektif,
4) Mereka
menganalisis keberhasilan untuk memastikan mereka memahami akar penyebabnya,
5) Mereka
menggunakan perayaan keberhasilan untuk membangun kepercayaan diri untuk
mengatasi tujuan peregangan,
6) Mereka
aktif mengumpulkan umpan balik pada semua aspek kehidupan kerja.
Peran Modal Psikologis Positif
Perilaku Organisasi
Positif (POB, Luthans,
2002; Luthans dan Youssef, 2007; Wright,
2003) dan modal psikologis
atau PsyCap (Luthans dan Youssef, 2004;.
Luthans et al,
2007a) merupakan daya tarik dari gerakan psikologi positif (Seligman dan Csikszentmihalyi,
2000, Snyder dan
Lopez, 2002). Psikologi
positif difokuskan pada fungsi
manusia yang optimal, dan POB dan PsyCap adalah aplikasinya pada tempat kerja. Luthans (2002, hal.
59) secara khusus mendefinisikan POB sebagai
"studi dan penerapan positif berorientasi pada kekuatan sumber daya manusia dan kapasitas psikologis yang dapat diukur, dikembangkan, dan dikelola secara efektif untuk perbaikan kinerja di tempat kerja".
Meski ada pendekatan
lain untuk POB (misalnya
lihat Nelson dan Cooper,
2007; Wright, 2003)
dan pemerhati organisasi positif (Cameron et
al, 2003), Luthans
dan rekannya baru-baru ini mengusulkan dan mulai
penelitian tahap kedua, yaitu faktor inti modal psikologis
(PsyCap). PsyCap
ini didefinisikan sebagai "pengembangan karakter atau watak psikologis positif
seorang individu dan ditandai oleh:
memiliki kepercayaan diri (self-efficacy)
untuk mengambil dan dimasukkan ke dalam upaya yang diperlukan
untuk berhasil pada tugas-tugas yang menantang; membuat atribusi yang positif (optimisme)
terhadap keberhasilan saat ini dan di masa depan; tekun mencapai tujuan dan,
bila perlu, mengarahkan jalan ke tujuan (harapan)
agar mencapai
keberhasilan; dan ketika dilanda
masalah dan kesulitan, mempertahankan dan bangkit kembali dan bahkan melampaui (resilience/ketahanan) untuk mencapai sukses "(Luthans
et al., 2007a,
hal.3). Dengan demikian definisi PsyCap terdiri dari
pertemuan kriteria POB (yaitu teori dan
penelitian berbasis pada pengukuran
yang valid, watak terbuka untuk
pengembangan, dan dampak kinerja kapasitas sumber
daya psikologis positif self-efficacy atau kepercayaan
(Bandura, 1997; Stajkovic
dan Luthans, 1998),
harapan/hope (Snyder et al, 1991), optimisme (Seligman, 1998)
dan ketahanan/resilience (Masten,
2001; Masten dan
Reed, 2002).
Inti
faktor PsyCap konsisten
dengan deskripsi Hobfoll (2002) tentang sumber
daya [modal] psikologis dan argumennya
bahwa konstruksi psikologis
banyak dipahami sebagai kontribusi
pada membangun kontruk
sumber daya atau sumber daya. Hal
ini sejalan dengan deskripsi Judge and Bono (2001)
bahwa inti evaluasi diri merupakan konstruk yang paling baik untuk dipahami sebagai akar yang mendasari atau tema yang terdiri dari harga diri, self efficacy, locus of control dan kestabilan emosi. Secara
individual, masing-masing kapasitas
PsyCap telah terbukti
berdampak dalam aplikasi klinis (misalnya, lihat Snyder dan Lopez, 2002)
serta di tempat kerja (lihat Luthans dan
Youssef, 2007;. Luthans
et al, 2007a).
Setiap
kapasitas [modal] PsyCap tampaknya
memiliki peran yang unik dalam
capaian (outcomes) karyawan. Misalnya,
Bandura (1997) telah
menemukan bahwa mereka yang meraih keberhasilan yang
lebih tinggi akan mengeluarkan jumlah
yang lebih besar upaya pada penyelesaian tugas yang diberikan. Selain itu, mereka ulet dalam
mempertahankan upaya menyelesaikan tugas meskipun masalah menghalangi. Dalam rangka untuk
mengisolasi dampak bahwa self-efficacy dapat
memiliki kinerja kerja, Stajkovic
dan Luthans (1998)
melakukan meta-analisis dari 114 studi dan 21.616
subyek dan menemukan korelasi 0,38 positif dan signifikan, rata-rata tertimbang, antara self-efficacy dengan kinerja.
Bila
dikonversi ke estimasi efek umum, ini merupakan peningkatan 28 persen kinerja, yang berhubungan dengan penyelesian tugas, karena self-efficacy.
Sementara, Kepercayaan-diri adalah individu yang memiliki
kepercayaan bahwa kemampuan mereka
merupakan dukungan yang kuat dalam menyelesaikan tugas yang diberikan,
serta optimisme adalah sebuah harapan kesuksesan masa depan. Secara khusus, Scheier
dan Carver (1985)
mencatat bahwa harapan
keberhasilan adalah sumber motivasi yang mengarah ke penerapan usaha karena
individu terus mengharapkan
sukses. Terkait dengan tempat
kerja, Seligman (1998) menemukan hubungan yang
sangat signifikan antara optimisme
yang diukur dengan kinerja di industri asuransi. Dalam penelitian yang luas di Metropolitan Life, Seligman menemukan bahwa optimisme yang tinggi, agen asuransi menjual asuransi 37 persen lebih dalam dua
tahun pertama masa kerja mereka dan memiliki turn-over agen yang rendah.
Keterkaitan antara optimisme dan kinerja karyawan juga telah ditunjukkan pada
industri perawatan kesehatan dan perbankan
(Luthans et al.,
2007b).
Teori
dan penelitian yang mendalam oleh
Snyder (
(2002)) menemukan bahwa individu
dengan harapan yang tinggi
tidak hanya memiliki tekad untuk mencapai tujuan, tetapi juga
mempertimbangkan beberapa jalur untuk
mencapai itu jika ada yang diblokir.
Hopers tinggi memiliki kemampuan luar biasa untuk meramalkan hambatan sebagai tantangan. Penelitian yang lain juga
menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan
dengan karyawan yang punya harapan
tinggi ternyata yang lebih unggul, dan manajer dengan tingkat harapan yang
lebih tinggi pula memiliki unit kerja
yang berkinerja tinggi (Peterson dan Luthans,
2003).
Sementara
keberhasilan, optimisme dan harapan
adalah konstruksi proaktif, ketahanan merupakan
kebangkitan seseorang ketika menghadapi kesulitan.
Secara khusus, karyawan tangguh cenderung beradaptasi secara positif
setelah kemunduran dan bekerja kembali ke tingkat optimal
yang lebih tinggi (Masten dan Reed, 2002).
Penelitian awal telah menunjukkan
terdapat hubungan positif antara ketahanan dan peningkatan
kinerja dan merupakan dasar memperoleh
keunggulan di tempat kerja (Luthans
et al, 2006;Luthans
et al, 2005).
Referensi
Fattah,
Nanang (2004). Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung, Remaja Rosdakarya.
Ross,
J. et.al. (1997), Intellectual Capital: Navigating the New Business Landscape,
New York, MacMillan.
Ancok,
D. (1998). Membangun Kompetensi Manusia dalam Milenium Ketiga, Psikologika, No.
6, 5-17.
Ancok,
D. (2002), Outbound Management Training: Aplikasi Ilmu Perilaku dalam
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jogjakarta: UII Press.
Goleman,
D.(1996), Emotional Intelligence. New York, Bantam Books.
Covey,
S.R. (1990), Seven Habits of Highly Effective People, New York, Fireside Book.
Bandura,
A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. New York: Freeman.
Luthans
Fred (2002) The need for and meaning of positive organizational behavior, Journal of Organizational Behavior, 23,
695–706 (2002)
Luthans,
F., & Youssef, C. M. (2004). Human, social, and now positive psychological
capital management. Organizational
Dynamics, 33, 143–160.
Luthans,
F., & Youssef, C. M. (2007). Emerging positive organizational behavior.
Journal of Management,33, 321–349.
Cicchetti
Dante (2010) Resilience under conditions of extreme stress:a multilevel
perspective, World Psychiatry,
2010;9:145-154.
The
importance of personal resilience (2004) Head Light Communications Ltd The
Courtyard, High St., Ascot, Berkshire SL5 7HP UK www.head-light.co.uk
Peterson,
Suzanne J. et al (2011) Psychological Capital And Employee Performance: A
Latent Growth Modeling Approach, Personnel
Psychology, 2011, 64, 427–450
Bandura,
1997; Bandura, A. (1997), Self-efficacy: The Exercise of Control, Freeman, New
York, NY.
Cameron
et al., 2003) Cameron, K.S., Dutton, J.E. and Quinn, R.E. (Eds) (2003),
Positive Organizational Scholarship,Berrett-Koehler, San Francisco, CA.
Hobfoll’s
(2002) Hobfoll, S. (2002), “Social and psychological resources and adaptation”,
Review of General Psychology,
Vol. 6, pp. 307-24.Luthans, F. (2002a), “The need for and meaning of positive
organizational behavior”, Journal of
Organizational
Behavior, Vol. 23, pp. 695-706.
Luthans,
F., Youssef, C.M. and Avolio, B.J. (2007a), Psychological Capital: Developing
the Human Competitive
Edge, Oxford University Press, Oxford.
Luthans,
F., Avolio, B., Walumbwa, F. and Li, W. (2005), “The psychological capital of
Chinese workers: exploring the relationship
with performance”, Management and Organization Review,
Vol. 1, pp. 247-69.
Luthans,
F., Avey, J.B., Avolio, B.J., Norman, S.M. and Combs, G.J. (2006),
“Psychological capital development:
toward a micro-intervention”, Journal of Organizational Behavior, Vol. 27,pp.
387-93.
Luthans,
K.W., Jensen, S., Lebsack, S. and Lebsack, R. (2007b), “Optimism and employee performance in the banking
industry”, paper presented at the Western Decision Sciences Institute, Denver, CO.
Masten,
A.S. and Reed, M.G.J. (2002), “Resilience in development”, in Snyder, C.R. and
Lopez, S. (Eds), Handbook of Positive Psychology, Oxford University Press,
Oxford, pp. 74-88.
Nelson,
D.L. and Cooper, C.L. (2007), Positive Organizational Behavior, Sage, Thousand
Oaks,CA.
Peterson,
S.J. and Luthans, F. (2003), “The positive impact and development of hopeful
leaders”, Leadership and Organizational Development Journal, Vol. 24, pp.
26-31.
Seligman,
M.E.P. (1998), Learned Optimism, Pocket Books, New York, NY.
Seligman,
M.E.P. and Csikszentmihalyi, M. (2000), “Positive psychology”, American
Psychologist,Vol. 55, pp. 5-14.
Shamir,
B., House, R.J. and Arthur, M.B. (1993), “The motivational effects of
charismatic leadership: a self-concept based theory”, Organization Science,
Vol. 4, pp. 577-93.
Scheier,
M.F. and Carver, C.S. (1985), “Optimism, coping, and health: assessment and
implications of generalized outcome expectancies”, Health Psychology, Vol. 4,
pp. 219-47.
Snyder,
C.R. (2002), “Hope theory: rainbows in the mind”, Psychological Inquiry, Vol.
13,pp. 249-76.
Snyder,
C.R., Irving, L. and Anderson, J. (1991), “Hope and health: measuring the will
and the ways”, in Snyder, C.R. and Forsyth, D.R. (Eds), Handbook of Social and
Clinical Psychology: The Health Perspective, Pergamon, Elmsford, NY, pp.
285-305
Stajkovic,
A.D. and Luthans, F. (1998), “Self-efficacy and work related performanc a
meta-analysis”,Psychological Bulletin, Vol. 124, pp. 240-61.
Wright,
T.A. (2003), “Positive organizational behavior: an idea whose time has truly come”,Journal
of Organizational Behavior, Vol. 24, pp. 437-42.Masten, A.S. (2001), “Ordinary
magic: resilience processes in development”, American Psychologist, Vol. 56,
pp. 227-39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar