Selasa, 05 Mei 2015

PERILAKU ORGANISASI POSITIF



KONSEP MODAL MANUSIA (HUMAN CAPITAL CONCEPT)

Pimpinan perlu meningkatkan berbagai potensi SDM agar mampu memberdayakannya secara optimal dalam mencapai kinerja, sehingga mampu mendudukkan organisasi pada posisi yang lebih baik dibandingkan dengan organisasi lainnya. Dengan manajemen SDM yang baik,organisasi akan memiliki kekuatan kompetitif dan akan menjadi sulit untuk ditiru, sehingga sumber-sumber keberhasilan kompetitif tradisional seperti teknologi proses produksi, proteksi pasar, akses terhadap sumber keuangan dan skala ekonomi seharusnya menjadi lebih berdaya guna.
Manusia sebagai human capital tercermin dalam bentuk pengetahuan, gagasan (ide), kreativitas, keterampilan, dan produktivitas kerja. Tidak seperti bentuk kapital lain yang hanya diperlakukan sebagai tools, human capital ini dapat menginvestasikan dirinya sendiri melalui berbagai bentuk investasi SDM, diantaranya pendidikan formal, pendidikan informal, pengalaman kerja, kesehatan, dan gizi serta transmigrasi  (Fattah, 2004).   Modal manusia adalah komponen yang sangat penting di dalam organisasi. Manusia dengan segala kemampuannya bila dikerahkan keseluruhannya akan menghasilkan kinerja yang luar biasa. Ada enam komponen dari modal manusia(Ancok,2002), yakni:
1)      Modal intelektual;   Modal intelektual (intellectual capital).   Modal intelektual adalah perangkat yang diperlukan untuk menemukaan peluang dan mengelola ancaman dalam kehidupan. Banyak pakar yang mengatakan bahwa modal intelektual sangat besar peranannya di dalam menambah nilai suatu kegiatan. Organisasi yang unggul dan meraih banyak keuntungan adalah organisasi yang terus menerus mengembangkan sumberdaya manusianya  (Ross dkk., 1997). Manusia memiliki sifat proaktif dan inovatif untuk mengelola perubahan lingkungan kehidupan (ekonomi, sosial, politik, teknologi, hukum dan lain-lain) yang sangat tinggi kecepatannya. Mereka yang tidak beradaptasi pada perubahan yang super cepat ini akan dilanda kesulitan.
2)      Modal emosional;  Goleman (1996) menggunakan istilah emotional intelligence untuk menggambarkan kemampuan manusia untuk mengenal dan mengelola emosi diri sendiri, serta memahami emosi orang lain agar dia dapat mengambil tindakan yang sesuai dalam berinteraksi dengan orang lain. Ancok (2005), terdapat empat dimensi dari kecerdasan emosional yakni:
a)      Self Awareness adalah kemampuan untuk memahami emosi diri sendiri secara tepat dan akurat dalam berbagai situasi secara konsisten. Bagaimana reaksi emosi di saat menghadapi suatu peristiwa yang memancing emosi, sehingga seseorang dapat memahami respon emosi dirinya sendiri dari segi positif maupun segi negatif.
b)      Self Management adalah kemampuan mengelola emosi secara baik, setelah memahami emosi yang sedang dirasakannya, apakah emosi positif atau negatif.Kemampuan mengelola emosi secara positif dalam berhadapan dengan emosi diri sendiri akan membuat seseorang dapat merasakan kebahagiaan yang maksimal.
c)      Social Awareness adalah kemampuan untuk memahami emosi orang lain dari tindakannya yang tampak. Ini adalah kemampuan berempati, memahami dan merasakan perasaan orang lain secara akurat. Dengan adanya pemahaman ini individu sudah memiliki kesiapan untuk meenanggapi situasi emosi orang lain secara positif.
d)     Relationship Management adalah kemampuan orang untuk berinteraksi secara positif pada orang lain, betapapun negatifnya emosi yang dimunculkan oleh orang lain.
3)      Modal sosial;    Pandangan para ahli dalam mendefinisikan konsep modal sosial dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok (Ancok, 1998). Kelompok pertama menekankan pada jaringan hubungan sosial (social network), sedangkan kelompok kedua lebih menekankan pada karakteristik (traits) yang melekat (embedded) pada diri individu manusia yang terlibat dalam sebuah interaksi sosial. Pandangan kelompok pertama menekankan pada aspek jaringan hubungan sosial yang diikat oleh kepemilikan informasi, rasa percaya, saling memahami, dan kesamaan nilai, dan saling mendukung. Menurut pandangan kelompok ini modal sosial akan semakin kuat apabila sebuah komunitas atau organisasi memiliki jaringan hubungan kerjasama, baik secara internal komunitas/organisasi, atau hubungan kerjasama yang bersifat antar komunitas/organisasi. Jaringan kerja sama yang sinergistik yang merupakan modal sosial akan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan bersama.  Pendapat ahli dari kelompok kedua; Semakin luas pergaulan seseorang dan semakin luas jaringan hubungan sosial (social networking) semakin tinggi nilai seseorang. Modal sosial dimanifestasikan pula dalam kemampuan untuk bisa hidup dalam perbedaan dan menghargai perbedaan (diversity). Pengakuan dan penghargaan atas perbedaan adalah suatu syarat tumbuhnya kreativitas dan sinergi. Kemampuan bergaul dengan orang yang berbeda, menghargai dan memanfaatkan secara bersama perbedaan tersebut akan memberikan kebaikan buat semua. Kemampuan membangun jaringan sosial inilah yang disebut dengan modal sosial.

 
4)      Modal ketabahan,    Konsep modal ketabahan berasal dari pandangan Paul G. Stoltz (1997) dalam Ancok (2002) yang ditulis dalam buku Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities. Ketabahan adalah modal untuk sukses dalam kehidupan, apakah itu kehidupan pribadi ataukah kehidupan organisasi. Stoltz membedakan tiga tipe manusia: quitter, camper dan climber. Tipe pendaki gunung yang mudah menyerah dinamainya dengan quitter, yakni orang yang bila berhadapan dengan masalah memilih untuk melarikan diri dari masalah dan tidak mau menghadapi tantangan guna menaklukkan masalah.  Tipe camper adalah tipe yang berusaha tapi tidak sepenuh hati. Bila dia menghadapi sesuatu tantangan dia berusaha untuk mengatasinya, tapi dia tidak berusaha mengatasi persoalan dengan segala kemampuan yang dimilikinya.  Tipe ketiga adalah climber yang memiliki stamina yang luar biasa di dalam menyelesaikan masalah. Dia tipe orang yang pantang menyerah sesulit apapun situasi yang dihadapinya. Dia adalah pekerja yang produktif bagi organisasi tempat dia bekerja.
5)      Modal moral;    Kalau sebuah organisasi melakukan perilaku yang melanggar etika bisnis maka kerugianlah yang akan dialaminya. Sepatu merk Nike kehilangan banyak pembeli setelah ada publikasi yang luas mengenai anak-anak di bawah umur yang bekerja di perusahaan Nike yang berlokasi di negara-negara berkembang (Hawkins et.al ,1998). Terdapat empat komponen modal moral yang membuat seseorang memiliki kecerdasan moral yang tinggi yaitu:
a)      Integritas (integrity), yakni kemauan untuk mengintegrasikan nilai-nilai universal di dalam perilaku. Individu memilih berperilaku yang tidak bertentangan dengan kaidah perilaku etikal yang universal.
b)      Bertanggung jawab (responsibility) atas perbuatan yang dilakukannya. Hanya orang-orang yang mau bertanggung jawab atas tindakannya dan memahami konsekuensi dari tindakannya yang bisa berbuat sejalan dengan prinsip etik yang universal.
c)      Penyayang (compassionate) adalah tipe orang yang tidak akan merugikan orang lain, karena dia menyadari memberi kasih sayang pada orang lain adalah juga sama dengan memberi kasih sayang pada diri sendiri.
d)     Pemaaf (forgiveness) adalah sifat yang diberikan pada sesama manusia. Orang yang memiliki kecerdasan moral yang tinggi bukanlah tipe orang pendendam yang membalas perilaku yang tidak menyenangkan dengan cara yang tidak menyenangkan pula.
6)      Modal kesehatan.   Covey (1990) mengatakan bahwa kesehatan adalah bagian dari kehidupan yang harus selalu dijaga dan ditingkatkan kualitasnya sebagai pendukung manusia yang efektif. Badan atau raga adalah wadah untuk mendukung manifestasi semua modal di atas. Badan yang tidak sehat akan membuat semua modal di atas tidak muncul dengan maksimal. Oleh karena itu kesehatan adalah bagian dari modal manusia agar dia bisa bekerja dan berfikir secara produktif.
Keenam komponen modal manusia ini akan muncul dalam sebuah kinerja yang optimum apabila disertai oleh modal kepemimpinan dan modal struktur organisasi yang memberikan wahana kerja yang mendukung. Dalam konteks organisasi, atau penerapan konsep psikologi positif pada lingkungan kerja, ilmu ini sering disebut dengan Positive Organizational Behavior (POB) (Luthans,2002).

 

Positive Organizational Behavior (POB)/Perilaku Organisasi Positif

Definisi dari POB menurut Luthans (2002) adalah studi dan aplikasi dari kapasitas psikologi dan kekuatan dari sumber daya manusia yang berorientasi secara positif, yang dapat diukur, dikembangkan, dan secara efektif dapat dikelola untuk meningkatkan kinerja di organisasi pada saat ini.
Pada awalnya, pembentukan teori POB mencakup: confidence, hope, optimism, subjective well-being, resiliency, & emotional intelligence. Namun, perkembangan studi selanjutnya mengidentifikasi bahwa faktor-faktor psikologi positif yang signifikan berpengaruh pada kinerja organisasi hanya Hope, Resiliency, dan Optimism. Variabel-variabel tersebut dipilih sebab memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
a)      Bersifat positif;
b)      Unik untuk bidang perilaku organisasi, dengan berdasar pada teori dan penelitian yang valid; serta
c)      Terbuka untuk pengembangan, perubahan, dan manajemen untuk perbaikan kinerja.

Kemudian dari aplikasinya berkembang menjadi Empat yang mendukung karakteristik POB – Harapan (Hope State), Optimisme (Optimism State), Ketahanan/Ketabahan (Resiliency State) dan Self-efficacy/Confidence (Kemampuan Percaya Diri).  Studi menunjukkan bahwa mengembangkan elemen-elemen menyebabkan dampak kinerja dan keunggulan kompetitif dalam organisasi (..\QualityofService\TheImportanceOfResilience.pdf):
1)      Harapan memiliki dasar penelitian dalam arena atletik dengan perhatian sekarang beralih ke dampaknya dalam dunia bisnis,
2)      Optimisme telah ditemukan dihubungkan dengan dampak Pemimpin, yang memiliki efek positif pada hasil organisasi,
3)      Ketahanan adalah menemukan dirinya menjadi komponen penting untuk kepemimpinan otentik di mana kemampuan untuk 'kembali ' dari keterpurukan telah menunjukkan untuk menjadi kapasitas yang dapat dikembangkan.
Jelas ini berkaitan erat dengan konteks (situasi atau organisasi) individu bekerja.

Variabel POB

Hope State(Harapan):
Kapabilitas untuk menciptakan dan pada akhirnya merealisasikan terbentuknya “jalan” menuju target/cita-cita yang diinginkan manusia dan memotivasi diri untuk menemukan inisiatif metoda untuk menggunakan “jalan” tersebut.
Secara umum beberapa penelitian menyimpulkan bahwa jika seseorang memiliki harapan (hopeful) maka orang tersebut akan memiliki motivasi dan percaya diri yang lebih baik untuk mencapai target kinerja dari pekerjaannya, dan selain itu, orang tersebut akan memiliki “saluran” alternatif untuk mencapai targetnya ketika ia memperoleh hambatan. Secara khusus sudah ada penelitian yang dapat membuktikan hubungan pengaruh positif tentang hope terhadap kinerja di bidang atletik, tetapi belum banyak upaya yang dilakukan untuk mencari tahu hubungan pengaruh hope terhadap prestasi pendidikan dan kerja.
Resiliency State(Ketahanan/Ketabahan):
Dalam POB, resiliency didefinisikan sebagai kapasitas seseorang untuk memecahkan berbagai kesulitan, ketidakpastian, konflik, kegagalan, atau bahkan kapasitas untuk melakukan perubahan diri untuk mencapai kemajuan, maupun untuk meningkatkan tanggung jawab. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa orang yang telah memiliki ketahanan/ketabahan (resilient) yang tinggi, cenderung untuk lebih efektif dalam mengarungi berbagai permasalahan hidupnya, termasuk kemampuannya dalam hal menyesuaikan dan mengembangkan dirinya dalam berbagai kondisi psikologis yang tidak menyenangkannya.


Optimism (Optimisme) State:
Tiger (2000) mendefinisikan optimisme sebagai suatu perilaku diri yang diasosiasikan dengan interpretasi mengenai sosial atau material; yang sangat dibutuhkan manusia sebagai makhluk sosial untuk mencapai kemajuan atau kesenangan diri. Psikologi positif menyatakan bahwa setiap orang yang memiliki ‘realistic optimism’ akan tetap komit untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi, karena ia cenderung untuk mampu memanfaatkan berbagai attributional explanatory style sebagai cara untuk beradaptasi. Bagi mereka, kemunduran tidak dianggap sebagai kegagalan, tetapi sebagai tantangan dan peluang untuk menjadi lebih sukses.
Self-efficacy/Confidence(Kemampuan Percaya Diri).  Kemampuan diri atau Kepercayaan Diri, didefinisikan oleh Bandura (1997 dalam The importance of personal resilience www.head-light.co.uk 2004), dapat disesuaikan untuk diterapkan pada individu dalam sebuah organisasi sebagai 'keyakinan tentang kemampuan mereka untuk memobilisasi motivasi, sumber daya kognitif dan tindakan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas tertentu' . PETERSON, et.al (2011) menemukan bahwa bukti bahwa modal psikologis dapat menjadi sumber daya, yang penting sebagian besar diabaikan untuk memberikan dampak positif kinerja kerja karyawan. Secara khusus, modal psikologis (positif) berguna untuk proses perkembangan sumber daya manusia dan kinerja manajemen.

Modal Psikologis Positif

Sebuah pandangan berbasis sumber daya perusahaan menunjukkan bahwa penggunaan sumber daya manusia secara optimal dapat menjadi sumber utama keunggulan kompetitif karena pesaing sangat sulit bagi untuk meniru (Barney, 1991). Pandangan berbasis sumber daya ini telah menyebabkan perhatian yang cukup besar dalam pengembangan bidang sumber daya manusia (SDM)  yang difokuskan pada evaluasi nilai dan dampak dari sumber daya manusia pada kinerja organisasi. Namun perkembangan ilmu pengetahuan menghendaki untuk melampaui modal manusia (umumnya diakui sebagai pendidikan, pengalaman, dan pengetahuan sumber daya manusia sekalipun secara implisit) dengan berfokus pada apa yang telah disebut "modal psikologis" yang positif (Luthans & Youssef, 2004; Luthans, Youssef, 2007). Secara khusus, modal psikologis atau, cukup, PsyCap, adalah tidak hanya peduli dengan "siapa diri Anda" (yaitu, modal manusia), tetapi juga, dalam arti perkembangan "siapa Anda akan menjadi apa", Anda adalah "diri terbaik" (Luthans, Youssef et al, 2007., hal. 20).  Salah satu modal psikologis yang makin banyak diteliti dan dibahas oleh para pakar adalah resiliency atau ketahananan mental (ketabahan) personil.
Sumber Daya Ketahanan/Ketabahan PsyCap [Psychological Capital] (The Resilience Resource of PsyCap). Ketahanan "mengacu pada fenomenan yang ditandai dengan pola adaptasi positif dalam konteks kesulitan yang signifikan atau risiko, yang memungkinkan individu untuk bangkit kembali dengan cepat dan efektif dari efek samping (Masten & Reed, 2002, hal. 75). Ketahanan adalah perbedaan antara mereka yang sembuh dengan baik setelah kesulitan dan mereka yang tetap hancur dan tidak bisa bergerak maju (Blok & Kremen, 1996;. Masten et al, 1985). Richardson (2002) berpendapat bahwa mereka yang mempunyai ketahanan lebih tinggi secara psikologis (termasuk emosi dan kognisi) akan bangkit kembali  ke tingkat di, atau bahkan di luar,  sebelumnya tingkat homeostasis atau keseimbangan.

Modal Psikologis Positif dan Bisnis

Ketahanan/Ketabahan  merupakan pencapaian adaptasi positif dalam menghadapi kesulitan yang signifikan melibatkan kemajuan perkembangan, kerentanan dan tantangan baru dan / atau kekuatan dan peluang sering muncul dengan perubahan keadaan selama hidup. Ketahanan bukanlah sesuatu individu 'memiliki' - itu adalah proses perkembangan tertentu yang berulang yang bersifat tidak tetap atau berubah "(Cicchetti, 2010, hal 146.). Ini merupakan kecerdasan mental yang dapat dimiliki seseorang melalui proses kehidupan yang di dalamnya terjadi suatu peristiwa yang terjadi berada di luar kendalinya, sehingga menjadikan dirinya seperti mendapat “serangan” yang harus dilawan.
Ketahanan/Ketabahan  dalam bisnis dan kerja Menurut Graham Jones di Harvard Business Review bulan Juni (http://head-light.co.uk/Articles/TheImportanceOfResilience.pdf), ketahanan pribadi atau ketangguhan mental/ kecerdasan mental adalah kunci untuk keunggulan, baik dalam olahraga dan bisnis. Penelaahan terhadap artikel ini, diketahui karakteristik berikut sebagai fondasi mental pemain elit/pebisnis:
1)      Mereka berkonsentrasi pada apa yang mereka dapat mengontrol dan tidak menyibukkan diri dengan yang lain,
2)      Mereka tidak memikirkan kemunduran,
3)      Mereka memiliki fokus yang kuat alternatif yang menyediakan tangguh dan pemulihan; contoh yang olahragawan dengan gairah untuk musik, atau bisnis-orang-orang yang daya tahan atlet, mengejar mereka diamati dari tujuan jangka panjang dan aspirasi membantu mereka  menempatkan jangka pendek kecil kegagalan dalam perspektif,
4)      Mereka menganalisis keberhasilan untuk memastikan mereka memahami akar penyebabnya,
5)      Mereka menggunakan perayaan keberhasilan untuk membangun kepercayaan diri untuk mengatasi tujuan peregangan,
6)      Mereka aktif mengumpulkan umpan balik pada semua aspek kehidupan kerja.

Peran Modal Psikologis Positif

Perilaku Organisasi Positif (POB, Luthans, 2002; Luthans dan Youssef, 2007; Wright, 2003) dan modal psikologis atau PsyCap (Luthans dan Youssef, 2004;. Luthans et al, 2007a) merupakan daya tarik dari gerakan psikologi positif (Seligman dan Csikszentmihalyi, 2000, Snyder dan Lopez, 2002). Psikologi positif difokuskan pada fungsi manusia yang optimal, dan POB dan PsyCap adalah aplikasinya pada tempat kerja.  Luthans (2002, hal. 59) secara khusus mendefinisikan POB sebagai "studi dan penerapan positif berorientasi pada kekuatan sumber daya manusia dan kapasitas psikologis yang dapat diukur, dikembangkan, dan dikelola secara efektif untuk perbaikan kinerja di tempat kerja".
Meski ada pendekatan lain untuk POB (misalnya lihat Nelson dan Cooper, 2007; Wright, 2003) dan pemerhati organisasi positif (Cameron et al, 2003), Luthans dan rekannya baru-baru ini mengusulkan dan mulai penelitian tahap kedua, yaitu faktor inti modal psikologis (PsyCap). PsyCap ini didefinisikan sebagai "pengembangan karakter atau watak psikologis positif seorang individu dan ditandai oleh: memiliki kepercayaan diri (self-efficacy) untuk mengambil dan dimasukkan ke dalam upaya yang diperlukan untuk berhasil pada tugas-tugas yang menantang; membuat atribusi yang positif (optimisme) terhadap keberhasilan saat ini dan di masa depan; tekun mencapai tujuan dan, bila perlu, mengarahkan jalan ke tujuan (harapan) agar mencapai  keberhasilan; dan ketika dilanda masalah dan kesulitan, mempertahankan dan bangkit kembali dan bahkan melampaui (resilience/ketahanan) untuk mencapai sukses "(Luthans et al., 2007a, hal.3). Dengan demikian definisi PsyCap terdiri dari pertemuan kriteria POB (yaitu teori dan penelitian berbasis pada pengukuran yang valid, watak terbuka untuk pengembangan, dan dampak kinerja kapasitas sumber daya psikologis positif self-efficacy atau kepercayaan (Bandura, 1997; Stajkovic dan Luthans, 1998), harapan/hope (Snyder et al, 1991), optimisme (Seligman, 1998) dan ketahanan/resilience (Masten, 2001; Masten dan Reed, 2002).
Inti faktor PsyCap konsisten dengan deskripsi Hobfoll (2002) tentang sumber daya [modal] psikologis dan argumennya bahwa konstruksi psikologis banyak dipahami sebagai kontribusi pada membangun kontruk sumber daya atau sumber daya. Hal ini sejalan dengan deskripsi Judge and Bono (2001) bahwa inti evaluasi diri merupakan konstruk yang paling baik untuk dipahami sebagai akar yang mendasari atau tema yang terdiri dari harga diri, self efficacy, locus of control dan kestabilan emosi. Secara individual, masing-masing kapasitas PsyCap telah terbukti berdampak dalam aplikasi klinis (misalnya, lihat Snyder dan Lopez, 2002) serta di tempat kerja (lihat Luthans dan Youssef, 2007;. Luthans et al, 2007a).
Setiap kapasitas [modal]  PsyCap tampaknya memiliki peran yang unik dalam capaian (outcomes) karyawan. Misalnya, Bandura (1997) telah menemukan bahwa mereka yang  meraih keberhasilan yang lebih tinggi akan mengeluarkan jumlah yang lebih besar upaya pada penyelesaian tugas yang diberikan. Selain itu, mereka ulet dalam mempertahankan upaya menyelesaikan tugas meskipun masalah menghalangi. Dalam rangka untuk mengisolasi dampak bahwa self-efficacy dapat memiliki kinerja kerja, Stajkovic dan Luthans (1998) melakukan meta-analisis dari 114 studi dan 21.616 subyek dan menemukan korelasi 0,38 positif dan signifikan, rata-rata tertimbang, antara self-efficacy dengan kinerja.
Bila dikonversi ke estimasi efek umum, ini merupakan peningkatan 28 persen kinerja, yang berhubungan dengan penyelesian tugas,  karena self-efficacy. Sementara, Kepercayaan-diri adalah individu yang memiliki kepercayaan bahwa kemampuan mereka merupakan dukungan  yang kuat dalam menyelesaikan tugas yang diberikan, serta optimisme adalah sebuah harapan kesuksesan masa depan.  Secara khusus, Scheier dan Carver (1985) mencatat bahwa harapan keberhasilan adalah sumber motivasi yang mengarah ke penerapan usaha karena individu terus mengharapkan sukses. Terkait dengan tempat kerja, Seligman (1998) menemukan hubungan yang sangat signifikan antara optimisme yang diukur dengan kinerja di industri asuransi. Dalam penelitian yang luas di Metropolitan Life, Seligman menemukan bahwa optimisme yang tinggi, agen asuransi menjual asuransi 37 persen lebih dalam dua tahun pertama masa kerja mereka dan memiliki turn-over agen yang rendah. Keterkaitan antara optimisme dan kinerja karyawan juga telah ditunjukkan pada industri perawatan kesehatan dan perbankan (Luthans et al., 2007b).
Teori dan penelitian yang mendalam oleh Snyder ( (2002)) menemukan bahwa individu dengan harapan yang tinggi tidak hanya memiliki tekad untuk mencapai tujuan, tetapi juga mempertimbangkan beberapa jalur untuk mencapai itu jika ada yang diblokir. Hopers tinggi memiliki kemampuan luar biasa untuk meramalkan hambatan sebagai tantangan. Penelitian yang lain juga menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan dengan karyawan yang punya harapan tinggi ternyata yang lebih unggul, dan manajer dengan tingkat harapan yang lebih tinggi pula memiliki unit kerja yang berkinerja tinggi (Peterson dan Luthans, 2003).
Sementara keberhasilan, optimisme dan harapan adalah konstruksi proaktif, ketahanan merupakan kebangkitan seseorang ketika menghadapi kesulitan. Secara khusus, karyawan tangguh cenderung beradaptasi secara positif setelah kemunduran dan bekerja kembali ke tingkat optimal yang lebih tinggi  (Masten dan Reed, 2002). Penelitian awal telah menunjukkan terdapat hubungan positif antara ketahanan dan peningkatan kinerja dan merupakan dasar memperoleh keunggulan di tempat kerja (Luthans et al, 2006;Luthans et al, 2005).

Referensi

Fattah, Nanang (2004). Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung, Remaja Rosdakarya.
Ross, J. et.al. (1997), Intellectual Capital: Navigating the New Business Landscape, New York, MacMillan.
Ancok, D. (1998). Membangun Kompetensi Manusia dalam Milenium Ketiga, Psikologika, No. 6, 5-17.
Ancok, D. (2002), Outbound Management Training: Aplikasi Ilmu Perilaku dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jogjakarta: UII Press.
Goleman, D.(1996), Emotional Intelligence. New York, Bantam Books.
Covey, S.R. (1990), Seven Habits of Highly Effective People, New York, Fireside Book.
Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. New York: Freeman.
Luthans Fred (2002) The need for and meaning of positive organizational behavior,  Journal of Organizational Behavior, 23, 695–706 (2002)
Luthans, F., & Youssef, C. M. (2004). Human, social, and now positive psychological capital management.  Organizational Dynamics, 33, 143–160.
Luthans, F., & Youssef, C. M. (2007). Emerging positive organizational behavior. Journal of Management,33, 321–349.
Cicchetti Dante (2010) Resilience under conditions of extreme stress:a multilevel perspective, World Psychiatry, 2010;9:145-154.
The importance of personal resilience (2004) Head Light Communications Ltd The Courtyard, High St., Ascot, Berkshire SL5 7HP UK  www.head-light.co.uk
Peterson, Suzanne J. et al (2011) Psychological Capital And Employee Performance: A Latent Growth Modeling Approach, Personnel Psychology, 2011, 64, 427–450
Bandura, 1997; Bandura, A. (1997), Self-efficacy: The Exercise of Control, Freeman, New York, NY.
Cameron et al., 2003) Cameron, K.S., Dutton, J.E. and Quinn, R.E. (Eds) (2003), Positive Organizational Scholarship,Berrett-Koehler, San Francisco, CA.
Hobfoll’s (2002) Hobfoll, S. (2002), “Social and psychological resources and adaptation”, Review of General Psychology, Vol. 6, pp. 307-24.Luthans, F. (2002a), “The need for and meaning of positive organizational behavior”, Journal of Organizational Behavior, Vol. 23, pp. 695-706.
Luthans, F., Youssef, C.M. and Avolio, B.J. (2007a), Psychological Capital: Developing the Human Competitive Edge, Oxford University Press, Oxford.
Luthans, F., Avolio, B., Walumbwa, F. and Li, W. (2005), “The psychological capital of Chinese workers: exploring the relationship with performance”, Management and Organization Review, Vol. 1, pp. 247-69.
Luthans, F., Avey, J.B., Avolio, B.J., Norman, S.M. and Combs, G.J. (2006), “Psychological capital development: toward a micro-intervention”, Journal of Organizational Behavior, Vol. 27,pp. 387-93.
Luthans, K.W., Jensen, S., Lebsack, S. and Lebsack, R. (2007b), “Optimism and employee performance in the banking industry”, paper presented at the Western Decision Sciences Institute, Denver, CO.
Masten, A.S. and Reed, M.G.J. (2002), “Resilience in development”, in Snyder, C.R. and Lopez, S. (Eds), Handbook of Positive Psychology, Oxford University Press, Oxford, pp. 74-88.
Nelson, D.L. and Cooper, C.L. (2007), Positive Organizational Behavior, Sage, Thousand Oaks,CA.
Peterson, S.J. and Luthans, F. (2003), “The positive impact and development of hopeful leaders”, Leadership and Organizational Development Journal, Vol. 24, pp. 26-31.
Seligman, M.E.P. (1998), Learned Optimism, Pocket Books, New York, NY.
Seligman, M.E.P. and Csikszentmihalyi, M. (2000), “Positive psychology”, American Psychologist,Vol. 55, pp. 5-14.
Shamir, B., House, R.J. and Arthur, M.B. (1993), “The motivational effects of charismatic leadership: a self-concept based theory”, Organization Science, Vol. 4, pp. 577-93.
Scheier, M.F. and Carver, C.S. (1985), “Optimism, coping, and health: assessment and implications of generalized outcome expectancies”, Health Psychology, Vol. 4, pp. 219-47.
Snyder, C.R. (2002), “Hope theory: rainbows in the mind”, Psychological Inquiry, Vol. 13,pp. 249-76.
Snyder, C.R., Irving, L. and Anderson, J. (1991), “Hope and health: measuring the will and the ways”, in Snyder, C.R. and Forsyth, D.R. (Eds), Handbook of Social and Clinical Psychology: The Health Perspective, Pergamon, Elmsford, NY, pp. 285-305
Stajkovic, A.D. and Luthans, F. (1998), “Self-efficacy and work related performanc a meta-analysis”,Psychological Bulletin, Vol. 124, pp. 240-61.
Wright, T.A. (2003), “Positive organizational behavior: an idea whose time has truly come”,Journal of Organizational Behavior, Vol. 24, pp. 437-42.Masten, A.S. (2001), “Ordinary magic: resilience processes in development”, American Psychologist, Vol. 56, pp. 227-39.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar