Kamis, 10 Mei 2012

INTELLECTUAL CAPITAL



INTELLECTUAL CAPITAL: PERLAKUAN,
PENGUKURAN DAN PELAPORAN
(Tinjauan Teoritis)
Pendahuluan
Organisasi apapun termasuk perusahaan pada saat ini agar dapat terus bertahan, perusahaan-perusahaan mengubah strateginya dari bisnis yang didasarkan pada tenaga kerja (labor-based business) menuju knowledge based business (bisnis berdasarkan pengetahuan), dengan karakteristik utama ilmu pengetahuan.
 Hal tersebut dikarenakan seiring dengan perubahan ekonomi yang memiliki karakteristik ekonomi yang berbasis ilmu pengetahuan dengan penerapan manajemen pengetahuan (knowledge management) maka kemakmuran suatu perusahaan akan bergantung pada suatu penciptaan transformasi dan kapitalisasi dari pengetahuan itu sendiri.
Dalam sistem manajemen yang berbasis pengetahuan ini, maka modal yang konvensional seperti sumber daya alam, sumber daya keuangan dan aktiva fisik lainnya menjadi kurang penting dibandingkan dengan modal yang berbasis pada pengetahuan dan teknologi. Dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi maka akan dapat diperoleh bagaimana cara menggunakan sumber daya lainnya secara efisien dan ekonomis, yang nantinya akan memberikan keunggulan bersaing (Rupert 1998).




Pengertian Intellectual Capital
1.      Resource Based Theory
Sumber daya dapat dianggap sebagai input yang memungkinkan perusahaan untuk melakukan kegiatan mereka. Sumber daya dan kemampuan internal menentukan pilihan-pilihan strategis yang dibuat oleh perusahaan saat berkompetisi dalam lingkungan bisnis eksternal mereka. Kemampuan perusahaan juga memungkinkan beberapa perusahaan untuk menambah nilai dalam customer value chain, mengembangkan produk baru atau mengembangkan ke dalam pasar yang baru.
Resource Based Theory (RBT) berfokus pada konsep atribut perusahaan yang difficult-to-imitate sebagai sumber kinerja yang unggul dan keunggulan kompetitif (Barney, 1986; Hamel dan Prahalad dalam Madhani, 2009).Menurut Conner dalam Madhani (2009), variasi kinerja antara perusahaan tergantung pada kepemilikannya pada inputs dan capabilities yang unik. Penrose (1959) dalam Astuti (2005) mengemukakan bahwa sumber daya perusahaan adalah heterogen, tidak homogen, jasa produktif yang tersedia berasal dari sumber daya perusahaan yang memberikan karakter unik bagi tiap-tiap perusahaan.
Menurut Belkaoui (2003); Hunter dan William (2003) dalam Saleh et al., (2008), resources based theory merupakan sumber daya perusahaan sebagai pengendali utama di balik kinerja dan daya saing perusahaan. Berdasarkan RBT ini, sebuah organisasi dapat dinilai sebagai kumpulan dari sumber daya fisik, sumber daya manusia, dan sumber daya organisasi (Barney, 1991; Amit dan Shoemaker, 1993 dalam Madhani, 2009) Sumber daya organisasi yang berharga, langka, imperfectly imitable dan imperfectly substituable adalah sumber utama dari keunggulan kompetitif yang berkelanjutan untuk kinerja unggul yang berkelanjutan. Sumber daya harus memenuhi kriteria “VRIN” agar dapat memberikan keunggulan kompetitif dan kinerja yang berkelanjutan (Madhani, 2009). Kriteria VRIN adalah sebagai berikut:
1.      Valuable (V): Sumber daya akan menjadi berharga jikadapat memberikan nilai strategis pada perusahaan. Sumber daya memberikan nilai jika sumber daya tersebut membantu perusahaan dalam mengeksploitasi peluang pasar atau membantu mengurangi ancaman (threats) pasar. Tidak ada keuntungan memiliki sumber daya jika sumber daya tersebut tidak menambah atau menaikkan nilai perusahaan.
2.      Langka (R): Sumber daya harus sulit ditemukan diantara para pesaing yang ada maupun pesaing potensial. Oleh karena itu sumber daya harus langka atau unik agar memberikan keunggulan kompetitif. Sumber daya yang dimiliki oleh beberapa perusahaan di pasar tidak dapat memberikan keunggulan kompetitif, karena mereka tidak dapat mendesain dan melaksanakan strategi bisnis yang unik dibandingkan dengan kompetitor yang lain.
3.      Imperfect Imitability (I):Imperfect Imitabilitydapat berarti tidak dimungkinkannya untuk memperbanyak atau membuat imitasi sumber daya tersebut. Hambatan-hambatannya dapat bermacam - macam, seperti : kesulitan mengakuisi sumberdaya tersebut,hubungan ynag tidak jelas antara kemampuan dengan keunggulan kompetitif, dan kompleksitas sumber dayanya.Sumber daya dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif yang berlanjut jika perusahaan-perusahaan yang tidak memilki sumber saya ini tidak dapat memiliki sumber daya tersebut.
4.      Non-Substitution(N): Non-substitusi berarti bahwa sumber daya tidak dapat disubstitusikan oleh sumber daya alternatif lainnya. Disini, para pesaing tidak dapat mencapai kinerja yang sama dengan menggantikan sumber daya dengan sumber daya laternatif lainnya.
RBT membantu perusahaan memahami mengapa kompetensi dapat dianggap sebagai aset perusahaan yang paling penting dan, pada saat yang bersamaan, untuk memahami bagaimana aset tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja bisnis perusahaan (Madhani, 2009).
Menurut RBV, sumber daya dapat secara umum didefinisikan memasukkan aset, proses organisasi, atribut perusahaan, informasi, atau pengetahuan yang dikendalikan oleh perusahaan yang dapat digunakan menyusun dan menerapkan strategi mereka (Learned, Christensen, Andrews, & Guth, 1969; Daft, 1983; Barney, 1991; Mata et al., 1995 dalam Madhani, 2009).Beberapa peneliti telah mengklasifikasikan sumber daya perusahaan sebagai sumber daya yang berwujud dan tidak berwujud.Barney (1991) mengkategorikan tiga jenis sumberdaya:
1. Modal sumber daya fisik (teknologi, pabrik dan peralatan),
2. Modal sumber daya manusia (pelatihan, pengalaman, wawasan), dan
3. Modal sumber daya organisasi (struktur formal).
Menurut resouce based theory, intellectual capital memenuhi kriteria-kriteria sebagai sumber daya unik yang mampu menciptakan keungguan kompetitif perusahaan sehingga dapat menciptakan value bagi perusahaan. Dari penjelasan resource based theory diatas, intellectual capital merupakan sumber daya yang dimiliki perusahaan, memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan dan digunakan untuk menyusun dan menerapkan strategi perusahaan sehingga meningkatkan kinerja perusahaan menjadi semakin baik. 
2.      Definisi Intangible Assets (Aset tidak Berwujud)
Smith (1994) dalam Choong (2008) mendefinisikan Intangible Assets sebagai berikut
“Intangible assets are all the elements of a business enterprise that exist in addition to working capital and tangible assets. They are the elements, after working capital and tangible assets, that make the business work and are often the primary contributors to the earning power of the enterprise. Their existences is dependent on the presence. or expectation, of earnings.”

Paragraph 08 PSAK 19 (revisi 2009) mendefinisikan aset tidak berwujud sebagai aktiva non-moneter yangdapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa, disewakan kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan administratif. Definisi tersebut mengadopsi pengertian dari IAS 38 tentang Intangible Assets yang relatif sama dengan definisi yang diajukan dalam FRS 10 tentang goodwill and intangible assets. IAS 38 maupun FRS 10, menyatakan bahwa aktiva tidak berwujud harus dapat diidentifikasi, bukan aset keuangan (non-financial/non-monetary assets), dan tidak memiliki substansi fisik.
3.      Definisi Intellectual Capital
Ketertarikan akan IC bermula ketika Tom Stewart, pada Juni 1991, menulis sebuah artikel (“Brain Power - How Intellectual Capital Is Becoming America’s Most Valuable Asset”), yang mengantar IC kepada agenda manajemen (Ulum, 2009). Stewart (1997) mendefinisikan IC dalam artikelnya sebagai berikut:
The sum of everything everybody in your company knows that gives you a competitive edge in the market place. It is intellectual material - knowledge, information, intellectual property, experience - that can be put to use to create wealth”.
The Society of Management Accountants of Canada (SMAC) mendefinisikan IC sebagai berikut: In balance sheet, intellectual assets are those knowledge-based items, which the company owns which prodused a future stream of benefits for the company (IFAC, 1998 dalam Sawarjuwono,2003).
Rastogi (2003) menyatakan bahwa “IC is the result of the collaborative effort among the firm’s human and social capital and knowledge management.” Definisi ini sama dengan Lev dan Daum (2002) dalam arti bahwa IC keluar dengan sendirinya tetapi merupakan hasil dari network effect(Choong, 2008).
Mouritsen et al. (2004) menyatakan bahwa “IC mobilises “things” such as employees, customers, IT, managerial work, and knowledge. IC cannot stand by itself as it merely provides a mechanism that allows the various assets to be bonded together in the productive process of the firm.”
Brooking (1996) dalam Ulum (2009) menawarkan definisi yang lebih komprehensif dengan menyatakan bahwa istilah intellectual capital diberikan untuk kombinasi intagible assets yang dapat membuat perusahaan untuk berfungsi.Brooking (1996) menyatakan bahwaIC adalah istilah yang diberikan untuk menkombinasikan intangible asset dari pasar, property intelektual, infrastruktur dan pusat manusia yang menjsaikan suatu perusahaan menjadi berfungsi..
Roos et al. (1997) menyatakan bahwa “IC includes all the processes and the assets which are not  normally shown on the balance sheet and all the intangible assets (trademarks, patent and brands) which modern accounting methods consider...” sedangkan Bontis (1996) mengakui bahwa IC bersifat elusive, tetapi sekali ditemukan dan dieksploitasi akan memberikan organisasi basis sumber baru untuk berkompetisi dan menang (Ulum, 2009). Sementara itu, Williams (2001) mendefinisikan IC sebagai berikut sebagai berikut:
“the enhanced value of a firm attributable to assets, generally of an intangible nature, resulting from the company’s organizational function,processes and information technology networks, the competency and efficiency of its employees and its relationship with its customers. Intellectual capital assets are developed from (a) the creation of new knowledge and innovation; (b) application of present knowledge to present issues and concerns that enhance employees and customers; (c) packaging, processing and transmission of knowledge; and (d) the acquisition of present knowledge created through research and learning”.
Banyak definisi dari IC menurut pakar dan kalangan bisnis di atas, namun secara umum jika diambil suatu benang merah dari berbagai definisi IC yang ada, maka IC dapat didefinisikan sebagai jumlah dari apa yang dihasilkan oleh tiga elemen utama organisasi (human capital, structural capital, customer capital) yang berkaitan dengan pengetahuan dan teknologi yang dapat memberikan nilai lebih bagi perusahaan berupa keunggulan bersaing organisasi(Sawarjuwono, 2003).Perbandingan konsep IC menurut beberapa ahli dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1
Perbandingan Konsep Intellectual Capital Menurut Beberapa Peneliti
Brooking (UK)
Roos (UK)
Stewart (USA)
Bontis (Canada)
Human-centered
assets
Skills, abilities and expertise, problem solving abilities and leadership styles
Human capital
Competence,
attitude, and
intellectual agility
Human capital
Employees are an
organization’s most
important asset
Human capital
The individual level knowledge
that each employee possesses
Infrastructure
assets
All the technologies,
process and methodologies that enable company to function
Organizational
capital
All organizational,
innovation, processes,
intellectual property, and cultural assets
Structural capital
Knowledge
embedded in
information
technology
Structural capital
Non-human assets
or organizational
capabilities used
to meet market
requirements
Intellectual
property
Know-how,
trademarks and
patents
Renewal and
development capital
New patents and
training efforts
Structural capital
All patents, plans
and trademarks
Intellectual
property
Unlike, IC, IP is a protected asset
and has a legal
definition
Market assets
Brands, customers,
customer loyalty
and distribution
channels
Relational capital
Relationship which
include internal and
external
stakeholders
Customer capital
Market information
used to capture and retain customers
Relational capital
Customer capital
is only one feature
of the knowledge
embedded in
organizational
relationships
Sumber: Bontis et al. (2000)
Banyak praktisi yang menyatakan bahwa Intellectual Capital terdiri dari tiga elemen utama (Stewart, 1998; Sveiby, 1997; Saint-Onge, 1996; Bontis, 2000 dalam Sawarjuwono 2003) yaitu :
1.      Human Capital (modal manusia)
Human Capital merupakan lifeblood dalam modal intelektual. Disinilah sumber innovation dan improvement,tetapi merupakan komponen yang sulit untuk diukur. Human capital juga merupakan tempat bersumbernya pengetahuan yang sangat berguna, keterampilan, dan kompetensi dalam suatu organisasi atau perusahaan.Human capital mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan untuk menghasilkan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang yang ada dalam perusahaan tersebut.Human capital akan meningkat jika perusahaan mampu menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh karyawannya. (Brinker, 2000) memberikan beberapa karakteristik dasar yang dapat diukur dari modal ini, yaitu training programs, credential, experience, competence, recruitment, mentoring, learning programs, individual potential and personality.
2.      Structural Capital atau Organizational Capital (modal organisasi)
Structural Capital merupakan kemampuan organisasi atau perusahaan dalam memenuhi proses rutinitas perusahaan dan strukturnya yang mendukung usaha karyawan untuk menghasilkan kinerja intelektual yang optimal serta kinerja bisnis secara keseluruhan, misalnya: sistem operasional perusahaan, proses manufacturing, budaya organisasi, filosofi manajemen dan semua bentuk intellectual property yang dimiliki perusahaan. Seorang individu dapat memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, tetapi jika organisasi memiliki sistem dan prosedur yang buruk maka intellectual capital tidak dapat mencapai kinerja secara optimal dan potensi yang ada tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal.
3.      Relational Capital
Elemen ini merupakan komponen modal intelektual yang memberikan nilai secara nyata.Relational Capital merupakan hubungan yang harmonis/association network yang dimiliki oleh perusahaan dengan para mitranya, baik yang berasal dari para pemasok yang andal dan berkualitas, berasal dari pelanggan yang loyal dan merasa puas akan pelayanan perusahaan yang bersangkutan, berasal dari hubungan perusahaan dengan pemerintah maupun dengan masyarakat sekitar. Relational Capital dapat muncul dari berbagai bagian diluar lingkungan perusahaan yang dapat menambah nilai bagi perusahaan tersebut. Edvinsson seperti yang dikutip oleh Brinker (2000) menyarankan pengukuran beberapa hal berikut ini yang terdapat dalam modal pelanggan, yaitu:
a.      Customer Profile.
Siapa pelanggan-pelanggan kita, dan bagaimana mereka berbeda dari pelanggan yang dimilki oleh pesaing. Hal potensial apa yang kita miliki untuk meningkatkan loyalitas, mendapatkan pelanggan baru, dan mengambil pelanggan dari pesaing.
b.      Costumer Duration.
Seberapa sering pelanggan kita berbalik kepada kita?Apa yang kita ketahui tentang bagaimana dan kapan pelanggan akan menjadi pelanggan yang loyal? Serta seberapa sering frekuensi komunikasi kita dengan pelanggan.
c.       Costumer Role.
Bagaimana kita mengikutsertakan pelanggan ke dalam desain produk, produksi dan pelayanan.
d.      Costumer Support.
Program apa yang digunakan untuk mengetahui kepuasan pelanggan.
e.       Customer Success.
Berapa besar rata-rata setahun pembelian yang dilakukan oleh pelanggan.
Tabel 2. menyajikan komponen-komponen dari tiga elemen utama IC. Tabel 2. mengacu pada IFAC (1998) yang membagi IC menjadi tiga elemen utama, yaitu: Human Capital, Relational Capital, dan Organizational Capital. Organizational meliputi intellectual property dan infrastructure assets.
Tabel 2
Klasifikasi Intellectual Capital
Human Capital
Relational Capital
(Costumer Capital)
Organizational (Structural Capital)
· know-how
· pendidikan
· vocational qualification
· pekerjaan dihubungkan
dengan pengetahuan
· penilaian psychometric
· pekerjaan dihubungkan
dengan kompetensi
· semangat
enterpreneurial, jiwa
inovatif, kemampuan
proaktif dan reaktif,
kemampuan untuk
berubah
· brand
· konsumen
· loyalitas konsumen
· nama perusahaan
· backlog orders
· jaringan distribusi
· kolaborasi bisnis
· kesepakatan lisensi
· kontrak-kontrak yang
mendukung
· kesepakatan franchise
Intellectual property:
· paten
· copyrights
· design rights
· trade secrets
· trademarks
· service marks
Infrastructure assets:
· filosofi manajemen
· budaya perusahaan
· sistem informasi
· sistem jaringan
· hubungan keuangan

Sumber: IFAC (1998)
4.                  Pengklasifikasian dan Pengukuran Intellectual Capital
Petrash (1996) mengembangkan model klasifikasi yang dikenal dengan value platform model (Ulum, 2009). Model ini mengklasifikasikan intellectual capital sebagai akumulasi dari human capital, organisational capital, dan customer capital. Edvinsson dan Malone (1997) mengembangkan the Skandia Value Scheme, yang mengklasifikasikan intellectual capital dan human capital sedangkan Haanes dan Lowendahl (1997) mengelompokkan intellectual capital suatu perusahaan ke dalam competence dan relational resources (Ulum, 2009). Model yang dikembangkan Lowendahl (1997) memperbaiki model diatas dan membagi kategori kompetensi dan rasional menjadi dua sub-kelompok (Tan et al., 2007):
1)        individual; dan
2)        collective.
Stewart (1997) mengklasifikasikan intellectual capital ke dalam tiga format dasar, yaitu:
1)         human capital;
2)         structural capital; dan
3)         customer capital.
The Danish Confederation of Trade Unions (1999) mengelompokkan intellectual capital sebagai manusia, sistem dan pasar. Leliaert et al. (2003) mengembangkan the 4-Leaf model, yang mengelompokkan intellectual capital ke dalam human, customer, structural capital dan strategic alliance capital (Tan et al., 2007).
Tabel 3
Pengembangan Pengklasifikasian Intellectual Capital
Dikembangkan Oleh
Kerangka Kerja
Klasifikasi
Kaplan dan Norton (1992)
Balance Scorecard
Internal process perspective
Customer perspective
Learning and growth perspective
Financial perspective
Haanes dan Lowendahl (1997)
Classification of Resources
Competence Relational
Lowendahl (1997)
Classification of Resources
Competence Relational
Sveiby (1997)
Intangible Asset Monitor
Internal structure
External structure
Competence of personnel
Edvinsson dan Malone (1997)
Skandia Value Scheme
Human capital
Structural Capital
Customer capital
Petrash (1996)
Value Platform
Human capital
Customer capital
Organizational capital
Danish Confederation of Trade Unions (1999)
Three categories of “Knowledge”
People
System
Market
Pulic (1999)
VAIC­­­­­
Effiency of human capital
Structural capital efficiency
Capital employed efficiency
Sumber: Brennan dan Connell (2000); Petty dan Guthrie (2000); Pulic (1999) dalam Ulum (2009)

Metode pengukuran intellectual capital dapat  dikelompokkan ke dalam dua kategori (Tan et al., 2007), yaitu:
1)         model yang tidak menggunakan pengukuran moneter; dan
2)         model yang menggunakan ukuran moneter.
Metode yang kedua tidak hanya termasuk metode yang mencoba mengestimasi nilai uang dari intellectual capital, tetapi juga ukuran-ukuran turunan dari nilai uang dengan menggunakan rasio keuangan. Berikut adalah daftar ukuran intellectual capital yang berbasis non moneter (Tan et al., 2007):
a.          The Balance Scorecard, dikembangkan oleh Kaplan dan Norton (1992);
b.         Brooking’s Technology Broker method (1996);
c.          The Skandia IC Report method oleh Edvinssion dan Malone (1997);
d.         The IC-Index dikembangkan oleh Roos et al. (1997)
e.          Intangible Asset Monitor approach oleh Sveiby (1997)
f.          The Heuristic Frame dikembangkan oleh Joia (2000);
g.         Vital Sign Scorecard dikembangkan oleh Vanderkaay (2000); dan
h.         The Ernst & Young Model (Barsky dan Marchant, 2000)
Sedangkan model penilaian intellectual capital yang berbasis moneter adalah (Tan et al., 2007):
a.          The EVA and MVA model (Bontis et al., 1999)
b.         The Market-to-Book Value model (beberapa penulis)
c.          Tobin’s q method (Luthy, 1998)
d.         Pulic’s VAIC model (1998, 2000)
e.          Calculated intangible value (Dzinkowski, 2000); dan The Knowledge capital Earnings model (Lev dan Feng, 2001).
4.1.Value Added Intellectual CoefficientTM (Pulic Model)
MetodeValue Added Intellectual Coefficient(VAICTM) yang dikembangkan oleh Pulic (1999), didesain untuk menyajikan informasi tentang value creation efficiency dari aset berwujud (tangible asset) dan aset tidak berwujud (intangible assets) yang dimiliki perusahaan.Pulic (2001; 2002) dalam Nik Maheran et al. (2009), menyatakan VAICTM membuat perusahaan dapat mengukur value creation efficiency.VAICTM menggunakan laporan keuangan perusahaan untuk menghitung koefisien efisiensi dalam tiga jenis modal, yaitu human capital, structure capital, dan capital employed. Meskipun VAICTM menggunakan data akuntansi, VAICTM tidak berfokus pada costperusahaan. VAICTM hanya berfokus pada efisiensi sumber daya yang menciptakan nilai pada perusahaan (Bornemann, 1999; Pulic, 2000 dalam Nik Maheran et al., 2009). Nilai yang tinggi pada VAIC menunjukkan peningkatan efisiensi dalam menggunakan modala perusahaan, karena VAIC dihitung dari penjumlahan efisiensi dari capital employed, efisiensi dari human capital efficiency, dan efisiensi dari structural capital(Nik Maheran et al., 2009). Pulic (2001) menyatakan bahwa nilai pasar perusahaan diciptakan oleh capital employed (fisik dan finansial) dan IC (Nik Maheran et al., 2009).
Model ini dimulai dengan kemampuan perusahaan untuk menciptakan value added (VA). VA adalah indikator paling objektif untuk menilai keberhasilan bisnis dan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam penciptaan nilai (value creation). VA dihitung sebagai selisih antara output dan input (Pulic, 1999).
Tan et al. (2007) menyatakan bahwa output (OUT) merepresentasikan revenue dan mencakup seluruh produk dan jasa yang dijual di pasar, sedangkan input (IN) mencakup seluruh beban yang digunakan dalam memperoleh revenue. Hal penting dalam model ini adalah bahwa beban karyawan (labour expenses) tidak termasuk dalam IN. Karena peran aktifnya dalam proses value creation, intellectual potential (yang direpresentasikan dengan labour expenses) tidak dihitung sebagai cost dan tidak masuk dalam komponen IN. Karena itu, aspek kunci dalam model Pulic adalah memperlakukan tenaga kerja sebagai entitas penciptaan nilai (value creating entity).VA dipengaruhi oleh efisiensi Human Capital (HC) dan Structural Capital (SC).
4.2. Value Added Capital Employed Coefficient (VACA)
Hubungan VA yang pertama adalah menggunakan modal fisik (CA), disebut sebagai “value added capital coefficient” (VACA).Hal ini merupakan indikator bahwa VA diciptakan oleh satu unit modal fisik.
Pulic mengasumsikan bahwa jika 1 unit dari CA menghasilkan return yang lebih besar dalam satu perusahaan daripada perusahaan yang lain, maka perusahaan tersebut lebih baik dalam memanfaatkan CA-nya. Dengan demikian, pemanfaatan CA yang lebih baik merupakan bagian dari IC perusahaan.Bila dibandingkan lebih dari sekelompok perusahaan, VACA menjadi indikator dari kemampuan intelektual perusahaan untuk lebih memanfaatkan modal fisik.
4.3. Human Capital Coefficient (VAHU)
Hubungan yang kedua adalah VA dan HC. ”Human Capital Coefficient” (VAHU) menunjukkan berapa banyak VA dapat dihasilkan dengan dana yang dikeluarkan untuk tenaga kerja. Hubungan antara VA dan HC mengindikasikan kemampuan dari HC untuk menciptakan nilai di dalam perusahaan. Konsisten dengan pandangan para penulis IC terkemuka lainnya (Edvinsson, 1997; Sveiby, 1998; Pulic, 1998 dalam Tan et al., 2007) berpendapat bahwa total biaya gaji dan upah merupakan indikator dari HC perusahaan. Pulic berpendapat bahwa sejak pasar menentukan gaji sebagai akibat dari kinerja, secara logis dapat disimpulkan bahwa keberhasilan HC harus dinyatakan dengan kriteria yang sama.
Dengan demikian, hubungan antara VA dan HC menunjukkan kemampuan untuk menciptakan nilai HC dalam sebuah perusahaan.Demikian pula, jika dibandingkan dengan lebih dari satu kelompok perusahaan, VAHU menjadi indikator kualitas sumber daya manusia dari perusahaan dan kemampuan mereka untuk menghasilkan VA untuk setiap rupiah yang dikeluarkan untuk HC.
4.4. Structural Capital Coefficient (STVA)
Hubungan ketiga adalah "Structural Capital Coefficient" (STVA), yang menunjukkan kontribusi structural capital (SC) dalam penciptaan nilai. Dalam model Pulic, SC adalah VA dikurangi HC. Apabila kontribusi dalam penciptaan nilai HC kurang, maka semakin besar kontribusi dari SC. Dalam Tan et al. (2007), Pulic (2000) berpendapat, hal ini telah diverifikasi oleh penelitian empiris yang menunjukkan sektor industri tradisional. Dalam industri berat dan pertambangan misalnya, VA hanya sedikit lebih besar dari HC, dengan komponen SC yang tidak signifikan.
Di sisi lain, dalam industri farmasi dan sektor perangkat lunak, situasi yang sama sekali berbeda diamati. HC menciptakan hanya 25-40 persen dari seluruh VA dan kontribusi besar disebabkan oleh SC. Oleh karena itu, hubungan antara ketiga VA dan SC yang digunakan dihitung dengan cara yang berbeda karena HC dan SC berada dalam proporsi terbalik sejauh menyangkut penciptaan nilai. STVA mengukur jumlah SC yang diperlukan untuk menghasilkan rupiah dari VA dan merupakan indikasi bagaimana SC sukses dalam penciptaan nilai.Tidak seperti VACA dan VAHU, VA adalah pada penyebut untuk STVA.
Rasio terakhir adalah perhitungan kemampuan intelektual perusahaan. Ini adalah jumlah dari koefisien-koefisien yang telah dihitung sebelumnya.Hasilpenjumlahan ini diformulasikan dalam indikator baru dan unik, yaitu VAICTM (Tan et al., 2007).
Metode Pulic ini memiliki daya tarik dalam hal kemudahan pemerolehan data dan memungkinkan analisis lebih lanjut akan dilakukan pada sumber-sumber data lainnya. Data yang diperlukan untuk memperoleh rasio standar dari angka finansial standar pada umumnya tersedia dari laporan keuangan auditan.
Hubungan Intellectual capital dengan Kinerja perusahaan
Penelitian yang telah dilakukan para pakar banyak menemukan bukti bahwa terdapat hubungan antara Intellectual capital dengan kinerja perusahaan, antara lain Firer dan Williams (2003), Chen et al.(2005), Syed Najibullah (2005), Tan et al. (2007), Ghosh & Mondal (2009), dan Zeghal & Maaloul (2010).
Firer dan Williams (2003) melakukan penelitian mengenai pengaruh intellectual capital terhadap kinerja perusahaan.Penelitiannya menggunakan objek 75 perusahaan sektor publikk yang terdaftar di Afrika Selatan pada tahun 2001.Di dalam penelitiannya, intellectual capitaldiproksikan dengan (VAICTM­­) dan kinerja perusahaannya terdiri atas, profitabilitas (ROA), produktivitas (ATO), market to book value (M/B).Hasil dari penelitiannya ini menunjukkan bahwa intellectual capital hanya berpengaruh terhadap market to book value dan produktivitas.Profitabilitas tidak memiliki pengaruh.Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa physical capital (modal fisik) merupakan faktor yang paling signifikan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan di Afrika Selatan.
Chen et al. (2005) menggunakan model Pulic (VAICTM­­) untuk menguji hubungan antara intellectual capital terhadap nilai pasar dan kinerja keuangan dengan sampel 4.254 perusahaan yang go public di Taiwan Stock Exchange. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa intellectual capital berpengaruh secara positif terhadap nilai pasar dan kinerja perusahaan.Selain itu, Chen et al. juga membuktikan bahwa biaya research dan development merupakan informasi tambahan yang berpengaruh terhadap kinerja keuangan, sedangkan biaya iklan tidak berpengaruh terhadap nilai pasar dan kinerja perusahaan.
Mavridis (2004) melakukan penelitian pada perusahaan perbankan di Jepang dimana hasilnya membuktikan bahwa kinerja yang paling baik adalah bank yangmengelola IC-nya dengan lebih baik dan lebih sedit penggunaan modal fisiknya..
Penelitian yang baru-baru ini (Tan et al., 2007) selain menguji hubungan IC dengan kinerja perusahaan, mereka juga menguji kapabilitas prediktif IC terhadap kinerja keuangan di masa depan. Selanjutnya di Indonesia, Kuryanto (2008) mereplikasi penelitian Tan et al. (2007), tetapi hasilnya bertentangan karena pada penelitian Tan et al. (2007) semua hipotesisnya didukung sedangkan pada penelitian oleh Kuryanto (2008), IC dan kinerja perusahaan tidak berhubungan secara positif, IC tidak berhubungan dengan kinerja keuangan perusahaan masa depan, ROGIC tidak secara positif berhubungan dengan kinerja perusahaan dan kontribusi IC kepada kinerja perusahaan berbeda sesuai industrinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur pengaruh intellectual capital terhadap kinerja keuangan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan menggunakan Pulic Model (VAIC), mengacu pada penelitian Tan et al. (2007). Kinerja keuangan yang digunakan adalah return on equity (ROE), earnings per share (EPS), dan annual stock return (ASR). Pemilihan indikator kinerja tersebut mengacu pada penelitian Tan et al. (2007).Data yang digunakan berupa informasi yang terdapat dalam laporan keuangan perusahaan yang terdaftar di BEI pada tahun 2006-2008.

Penutup
Menurut resouce based theory, intellectual capital merupakan sumber daya unik yang mampu menciptakan keunggulan kompetitif perusahaan sehingga dapat meningkatkan kinerja perusahaan menjadi semakin baik dan menciptakan value bagi perusahaan. Perusahaan yang memiliki keunggulan kompetitif tentunya akan dapat bersaing dengan lawan bisinisnya dan keberlanjutan perusahaan akan terjamin. Jika keberlanjutan perusahaan terjamin,maka persepsi pasar terhadap nilai perusahaan akan meningkat. Hal tersebut dapat membuat perusahaan memiliki nilai tambah dibandingkan dengan perusahaan lain.
Investor yang menilai perusahaan secara keseluruhan akanmemberi nilai lebih bagi perusahaan yang mempunyai kinerja yang baik. Hal ini membuat investorakan menempatkan nilai yang lebih tinggi pada perusahaan yang memiliki intellectual capital yang besar. Semakin tinggi intellectual capital(VAICTM) maka nilai perusahan akan meningkat dan membuat sahamnya akan banyak diminati oleh investor sehingga permintaan akan saham perusahaan tersbut akan naik sehingga menyebabkan harga saham menjadi naik. Oleh karena itu, intellectual capital diyakini memegang peran penting dalam meningkatkan nilai perusahaan di mata pelaku pasar modal (Ghosh & Mondal, 2009).

DAFTAR PUSTAKA
Abdolmohammadi, M. J. 2005. “Intellectual Capital Disclosure and Market Capitalization”,dalam Journal of Intellectual Capital. Vol 6, No. 3, hlm.397-416

Accounting Standards Board. 1997. Goodwill and Intangible Assets. FRS 10. Accounting Standards Board, London.

Astuti, P. D. dan Arifin S. 2005. Hubungan Intellectual Capital dan Business Perfomance dengan Diamond Spesification: Sebuah Perspektif Akuntansi. SNA VIII, hlm. 694-707.

Barney, J. B. 1991. “Firm resources and sustained competitive advantage”, dalam Journal ofManagement.Vol.17, No.1, hlm. 99-121.

Bollen, L., Philip V., dan Stephanie S. 2005. “Linking Intellectual Capital and Intellectual Property to CompanyPerformance,” dalam Management Decision. Vol. 43, No. 9. hlm 1161-1185.

Canton, J. 2009. “The Extreme Future” (Terj.) InyiakRidwanMuzir. Jakarta: PustakaAlvabet.

Chen, M.C, Cheng S.J, dan Hwang Y. 2005. “An Empirical Investigation of The Relationship Between Intellectual Capital and Firm’s Value and Financial Performance,” dalam Journal of Intellectual Capital. Vol.6, No.2. hlm 159-176.

Daum, J.H. 2005. “Intangible Assets-Based Enterprise Management: A Practical Approach”,Proceedingof 2005 PMA IC Symposium. Manhattan.

Firer, S., dan S. M. Williams. 2003. “Intellectual Capital and Traditional Measures of Corporate Performance,” dalam Journal of Intellectual Capital, Vol. 4, No. 3. hlm. 349-460.

Ghosh, S. dan Amitava M. 2009. “Indian Software and Pharmaceutical Sector IC and Financial Performance,” dalam Journal of Intellectual Capital. Vol.10, No.3. hlm 369-388.

Goh, P.C. 2005. “Intellectual Capital Performance of Commercial Banks in Malaysia.” Vol.6, No.3. hlm 385-396.

Hermans, R. 2004, “International Mega-Trends and Growth Prospects of the FinnishBiotechnology Industry”, Proceeding ETLA, The Research Institute of the Finnish Economy. Helsinki.

Hurwitz, J., Stephen L., Bill M., dan Jeffrey S. 2002. “The Lingkage between Management Practices, Intangibles Performance and Stock Returns,” dalam Journal of Intellectual Capital. Vol.3, No.1. hlm 51-61.

Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No.19. Salemba Empat: Jakarta

International Accounting Standards Board. 2004. Intangible Assets. IAS 38. International Accounting Standards Board, London.

Kamath, G. B. “The Intellectual Capital Performance of Indian Banking Sector,” dalamJournal of Intellectual Capital, Vol.8, No. 1. pp. 96-123.

Kuryanto, B., dan M. Syafrudin. 2008. ”Pengaruh Intellectual Capital Terhadap Kinerja Perusahaan”. Proceeding SNA XI. Pontianak.

Madhani, P. M. “Resource Based View (RBV) of Competitive Advantage: An Overview.” http://ssrn.com/abstract=1578704. Diakses Maret 2011.

Maviridis, D. G. 2004. “The Intellectual Capital Performance of The Japanese Banking Sector,” dalamJournal of Intellectual Capital, Vol. 5, No. 1. hlm. 92-115.

Mouritsen, J., Bukh, P.N. and Marr, B. 2004. “Reporting on Intellectual Capital: Why, What andHow?” dalam Measuring Business Excellence, Vol. 8 No. 1, hlm. 46-54.

Nik Maheran, N.M., Filzah, M.I. and Nik Rozhan, N.I. (2009), Intellectual Capital Efficiency Level ofMalaysian Financial Sector: Panel Data Analysis (2002-2006), available at: www.nikmaheran.com/v1/attachments/030_Intelectual_capital.pdf

Najibullah, S. 2005. “An Empirical Investigation of The Relationship Between IntellectualCapital and Firms’ Market Value and Financial Performance : in Context of Commercial Banks of Bangladesh”, Independent University. Bangladesh.

Ramadhan, I. I. 2009. “Pengaruh Intellectual Capital terhadap Kinerja PerusaahanManufaktur yang Terdaftar di BEI Tahun 2002-2007”. Skripsi. Tidak Dipublikasikan.Universitas Diponegoro. Semarang.

Pulic, A. 1999. “Basic Information on VAICTM”. www.vaic-on.net. Diaskses Maret 2011.

Rastogi, P.N. 2003. “The Nature and Role of IC – Rethinking The Process of Value Creation andSustained Enterprise Growth”, dalam Journal of Intellectual Capital, Vol. 4 No. 2, hlm. 227-248.

Sawarjuwono, T. dan Agustine P. K. 2003. “Intellectual Capital: Perlakuan, Pengukuran, dan Pelaporan (Sebuah Library Research),” dalam Jurnal Akuntansidan       Keuangan. Vol.5, No.1. hlm 35-57. Surabaya: Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Univesitas Airlangga.

Sharabati, A. A. A., Shawqi N. J., dan N. Bontis. 2010. “Intellectual Capital and Business Performace in the Pharmaceutical Sector of Jordan,” dalam Management Decision. Vol. 48, No. 1. hlm. 105-131.

Stewart, T.A. 1997. Intellectual Capital: The new Wealth of Organizations. New York: Doubleday Dell Publishing Group, Inc

Tan, H. P., Plowman, D., dan Hancock, P. 2007. “Intellectual Capital and Financial returns of Comapanies“ dalam Journal of Intellectual Capital.Vol. 8, No. 1. hlm. 76-95.

Ulum, I, I. Ghozali, dan A. Chariri. 2008. “Intellectual Capitaldan Kinerja Keuangan Perusahaan: Suatu Analisis dengan Pendekatan PLS” dalamSNA XI.Vol. 1. hlm 1-32.

Ulum, I. 2009. Intellectual Capital: Konsep dan Kajian Empiris. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Walsh, C. 2004. “Key Management Ratios”(Terj.) Shalahudin Haikal. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Williams,S.M. 2001. “Is Intellectual Capital Performance and Disclosure Practices Related?”, dalam  Journal of Intellectual Capital. Vol. 2, No. 3. Hlm. 192-203.

Zeghal, D. dan A. Maaloul. 2010. “Analysing Value Added as an Indicator of Intellectual Capital and Its Consequences on Company Performace,” dalam Journal of Intellectual Capital. Vol.11, No.1. hlm 39-60.

Zhang, X., dan Rongqiu C. 2006. “Forecast-Driven or Customer-Order-Driven? An Empirical Analysis of the Chinese Automotive Industry,” dalam International Journal of Operations & Production Management, Vol. 26, No. 6. hlm 668-688

Zucker, L.G., Darby, M.R., dan Brewer, M.B. 1994, “Intellectual Capital and The Birth OfUS Biotechnology Enterprise”,  dalam Working Paper Series4653, NBER. Cambridge.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar